WAHANANEWS.CO – Benarkah Kabinet Merah Putih yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto adalah Kabinet seratus Menteri? Ternyata tidak, Yang benar jumlah kementerian negara bentukan Presiden Prabowo, sebanyak 41 kementerian portofolio, dan 7 kementerian koordinator yang nonportofolio.
Kabinet sebelumnya besutan Jokowi jumlah kementerian adalah 34 dengan 30 kementerian portofolio, dan 4 kementerian koordinator.
Baca Juga:
Bertemu PM Slandia Baru, Presiden Prabowo Bahas Perdagangan Hingga Inovasi
Penambahan jumlah kementerian dilakukan Prabowo, karena dibenarkan Undang Undang dan tidak ada batasan jumlah kementerian yang dibentuk. Yang penting sesuai dengan kebutuhan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan untuk tercapainya visi dan misi Presiden Prabowo untuk 5 tahun mendatang.
Penambahan dan perubahan nomenklatur Kementerian Merah Putih terbagi atas 3 jenis Kementerian. Pertama, ada 7 kementerian koordinator–yang semula dari 4 kementerian koordinator. Penambahan kementerian koordinator menjadi konsekuensi logis dari mekarnya kementerian portofolio dari 30 menjadi 41 kementerian. Berarti ada penambahan sebanyak 11 kementerian. Secara proporsional, memang penambahan 11 kementerian harus diikuti dengan penambahan 2 badan.
Kedua, adalah ada 19 kementerian yang tetap, nomenklatur sama dengan kabinet sebelumnya. Tetapi, ada kementerian yang jumlah eselon 1 berkurang, karena bergeser pada lembaga baru yang dibentuk sebelumnya yang setingkat direktorat jenderal (ditjen). Di Kemenag, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah tentu akan bermigrasi ke Badan Urusan Haji dan Umrah (BUHU). Persoalannya adalah terkait dengan UU Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Dalam ketentuan umum UU tini, menyebutkan Menteri Agama yang ditugaskan menyelenggarakan haji dan umrah. Artinya, dalam waktu dekat ini, BUHU belum dapat bekerja secara maksimal.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Subianto Terima Penghargaan “Grand Cross of the Order of the Sun of Peru”
Hal yang sama terkait dengan Badan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (BPPK), yang dibentuk Presiden Prabowo. Jika landasan regulasinya adalah UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, penugasan bukan kepada lembaga yang dimaksud, tetapi dilaksanakan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) sesuai Ketentuan Umum UU Nomor 13 Tahun 2011. Namun Ironis, Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden mencabut tugas Penanganan Fakir Miskin dari Kemensos. Mensos Tri Rismaharini mengalaskan karena Ditjen Penanganan Fakir Miskin banyak korupsinya. Padahal kasus korupsi bansos semasa Mensos Juliari Batubara di Ditjen Perlindungan Jaminan Sosial.
Sampai saat ini, Kemensos tidak menangani kemiskinan. Padahal ada perintah dalam UU Nomor 13 Tahun 2011. Mungkin solusinya UU tersebut direvisi, dan penugasan kepada Kemensos digantikan dengan BPPK. Tetapi karena irisan yang tebal dalam implementasi di lapangan, maka tata-hubungan antarlembaga perlu diatur secara jelas.
Ketiga, ada 20 kementerian yang mengalami perubahan nomenklatur dan-atau pergeseran tugas dan fungsi. Kebanyakan pemekaran kementerian, misalkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menjadi 3 Kementerian portofolio, dan 1 kementerian koordinator. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dibelah menjadi 3, yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain dan Teknologi (Kemendiktisaintek), dan Kementerian Kebudayaan (Kemenbud).
Sepertinya, Kementerian Pendidikan adalah kementerian bongkar pasang. Tapi nilai plusnya adalah menaikkan harkat kebudayaan dari level eselon I menjadi Kementerian. Tentu hal ini memberikan dukungan perhatian anggaran yang lebih besar untuk peningkatan kebudayaan Indonesia.
Ada yang sebelumnya dalam bentuk badan, menjadi Kementerian, seperti BKKBN, menjadi Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN. Badan Perlindungan Pekerja Migran, naik kelas menjadi Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan PPMI. Kementerian PUPR, terbelah dua menjadi Kementerian PU dan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Yang juga bercerai adalah Kementerian Koperasi dan UMKM menjadi Kementerian Koperasi sendiri dan Kementerian UMKM, walaupun irisan kegiatan di lapangan Koperasi dan UMKM bekerja dalam satu tarikan nafas yang sama.
Keempat, ada 2 kementerian yang hanya mengalami perubahan nomenklatur. Hal ini tidak ada implikasi apa-apa. Hanya ada penambahan lingkup tugas yang lebih luas. Kementerian Kominfo menjadi Komunikasi dan Digital (Komdigi). Kementerian Investasi ditambahkan embel-embel Hilirisasi/Kepala BKPM.
Jika kita cermati struktur kementerian yang dibagi atas 4 klaster. Menurut hemat kami pemekaran kementerian itu masih wajar. Dapat dicermati bahwa setiap kementerian fokus pekerjaannya lebih terukur, kontrol rentang kendali lebih pendek. Beban tugas tidak melebar tetapi sempit dan mendalam. Contohnya Kementerian Hukum, fokus persoalan hukum yang rumit seperti jaring laba-laba. Kementerian Hukum tidak perlu lagi mikir seperti masih sebagai Kementerian Hukum dan HAM yang cakupannya sangat lebar, dan rentang kendalinya sangat jauh.
Kementerian Koperasi. Jelaslah fokus urus Koperasi sebagai soko guru perekonomian. Laksanakan amanat UU Koperasi. Tidak perlu lagi pikirannya terbelah mengurus UMKM. Biarlah UMKM diurus oleh Kementerian UMKM. Kata kuncinya fokus program prioritas sesuai denan tupoksinya kementerian.
Oleh karena itu, pemekaran 41 Kementerian portofolio dan 7 Kementerian Koordinator masih wajar dan logis dan dapat lebih mudah bagi Presiden untuk menilai Kinerja. Jika Presiden Prabowo bisa memainkan Menkonya bekerja secara tepat, cepat, dan quick response, tersistem dan subsistem akan dapat bergerak cepat menuju target pemerintahan.
Namun secara obyektif, kita melihat ada titik lemah Kabinet Merah Putih Prabowo. Apa itu? Banyaknya wakil menteri (wamen). Bahkan ada Kementerian yang wamennya lebih dari satu. Kita mencermati beban SDM dengan penambahan Wamen itu tentu meningkatkan belanja pemerintah. Tidak sepadan beban biaya dengan tingkat efisiensi dan efektivitas yang ingin dicapai.
Persoalan SDM ini, merupakan fenomena gunung es. Selama ini, kementerian itu sudah punya 3 atau 4 staf ahli menteri, juga punya 5 orang staf khusus yang memposisikan dirinya fasilitasnya selevel eselon 1. Nah, wamen juga biasanya tidak ketinggalan merekrut staf khusus yang harus dibiayai dari anggaran kementerian.
Kehadiran wamen itu terkadang dalam birokrasi kementerian akan menimbulkan dualisme kebijakan–walaupun tidak terbuka. Tapi itu akan dapat memperlemah dinamika kecepatan atau akselerasi implementasi program. Walaupun tidak tertutup kemungkinan kehadiran wamen itu akan mempermudah, meringankan, bahkan memberikan penguatan atas kebijakan yang telah ditetapkan kementerian.
Keberadaan wamen masih proporsional untuk kementerian bersifat vertikal sesuai dengan UU Otonomi Daerah. Karena kementerian vertikal punya kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen (kandep) kabupaten-kota, sehingga jangkauan pemantauan kerja dapat dibagi antara menteri dan wamen.
Tetapi bagi kementerian yang sudah dimekarkan, dengan cakupan program yang lebih sedikit, dan jumlah pejabat struktural yang lebih ramping, dan keterbatasan sarana, prasarana serta fasilitas yang harus disiapkan sepertinya keberadaan Wamen tidaklah urgen. Dan, umumnya bukan kementerian vertikal, sehingga tidak ada unit kerja langsung di provinsi, maupun kabupaten-kota.
Demikian juga halnya, wamen di 7 kemenko, dikhawatirkan tugasnya tidak optimal, karena kemenko nonportofolio, dan jumlah kementerian yang dikoordinasikan lebih sedikit. Pengalaman saya sebagai deputi di salah satu kemenko 10 tahun yang lalu, banyak formasi eselon 3 dan 4 yang tidak diisi, karena belum dibutuhkan, padahal kotak strukturnya tersedia. Demikian juga, load kerja pejabat struktural eselon 1, SAM, ASDEP, serta kepala bagian-bidang di kemenko tidaklah optimal. Apalagi kemenko juga punya formasi staf khusus, yang terkadang kekuasaannya dapat melampaui pejabat organik-deputi.
Disamping akan tersitanya waktu dalam pengisian struktur baru birokrasi kementerian yang mekar maupun perubahan nomenklatur yang hitungan saya belum dapat dipastikan dalam 6 bulan selesai. Belum lagi persoalan alokasi anggaran (APBN) yang harus dibagi-bagi dengan plafon anggaran yang terbatas. Kue yang terbatas diperebutkan oleh banyak birokrat, apalagi birokrat yang baru terlibat dalam percaturan perjuangan anggaran tentu energi perjuangannya lebih besar.
Tarikan kepentingan antar lembaga kementerian, mencakup persoalan anggaran, SDM, pengisian struktur, perombakan struktur tidak dapat dihindarkan. Bagi ASN lembaga kementerian, posisi jabatan, jenjang karir, dan kepastian mendapatkan job suatu keniscayaan. Menteri boleh berganti, tetapi para birokratlah sebagai gatekeeper, untuk tetap berlangsungnya roda pemerintahan. Periuk nasi mereka di situ. Mereka kebanyakan tidak pandai bekerja selain menghabiskan waktunya sebagai ASN untuk mencukupi kehidupannya.
Resistensi akan terjadi jika dalam proses restrukturisasi itu, dalam persepsi mereka adalah kehilangan jabatan, berkurangnya pendapatan, didegradasinya wewenang, bahkan perlakuan diskriminatif, ditandai dengan pengaturan jabatan yang tidak profesional, tidak mengikuti jenjang karir, akrobatik, bahkan yang berbahaya jika dikaitkan dengan afiliasi politik.
Jika hal itu terjadi, maka akan menjadi pintu masuk terjadi korupsi. Karena birokrat sudah melihat atasannya ibarat ikan mati yang busuk dari kepalanya, mereka sebagai bagian dari ikan busuk itu, tidak bisa terlepas dari kebusukan. Walaupun masih ada juga birokrat yang dapat menyelamatkan diri dari kebusukan ikan mati itu.
Men-PANRB harus kuat, dan tidak boleh longgar dalam menerapkan kebijakan yang telah ditetapkan Presiden Prabowo. Men-PAN harus garis lurus dengan Presiden. Jangan sekali-kali terjebak dengan keinginan dan penetrasi kementerian yang menginginkan perluasan struktur, ataupun pengembangan fungsi dan tugas. Karena implikasinya pada alokasi anggaran. Kecepatan dan ketepatan dalam mengeksekusi struktur baru sangat menentukan kecepatan bekerja kementerian sebagaimana sudah ditetapkan dalam rencana strategis (renstra) dan rencana kerja pemerintah (RKP) 2025.
Kita berharap, semester I tahun 2025, urusan restrukturisasi dan birokratisasi kementerian dapat tuntas, dan semua kementerian bekerja dengan kecepatan tinggi untuk mewujudkan target program Pemerintahan Merah Putih. Jika tidak, Presiden Prabowo tidak boleh ragu untuk segera mengganti menteri yang tidak mampu, atau tidak serius, atau membuat agenda lain diluar yang digariskan presiden.
Cibubur, 12 November 2024
*) Pemerhati kebijakan publik/Dosen FISIP UNAS