Terdapat beberapa kebijakan pemerintahan Prabowo‑Gibran selama sekitar satu tahun yang “dianggap” membebani konsumen/masyarakat, diantaranya adalah kebijakan efisiensi anggaran/pemotongan belanja negara. Melalui Inpres (Instruksi Presiden) No. 1 Tahun 2025, pemerintah memangkas belanja kementerian/lembaga dan transfer ke daerah sebesar sekitar Rp 306,7 triliun.
Pemangkasan belanja negara dan efisiensi anggaran efeknya perputaran uang pemerintah di daerah berkurang, potensi belanja masyarakat juga menurun karena banyak proyek dan pengeluaran publik yang harus dibatasi. Selain itu efisiensi anggaran yang dilakukan terlalu cepat memperlambat pertumbuhan ekonomi lokal (daerah) karena proyek publik dipangkas.
Baca Juga:
BPKN RI Ungkap Risiko Konsumen Mobil Listrik: Dari Radiasi hingga Harga Jual Turun
Kemudian, Pemerintah menaikkan UMP sekitar 6,5% untuk 2025. Walau ini positif untuk pekerja, ada risiko bagi usaha kecil yang harus menanggung biaya tenaga kerja lebih tinggi, yang berimbas pada harga barang dan jasa.
Selanjutnya, Pemerintah menetapkan kenaikan PPN ke 12% hanya untuk barang mewah, sementara barang/jasa lain tetap di level lama atau mendapat insentif. Kebijakan pajak ini meningkatkan harga barang-barang tertentu, khususnya barang impor atau barang tidak mahal tapi dianggap “mewah” bagi sebagian konsumen.
Berikutnya, pembatasan distribusi tabung gas 3 kg. Pemerintah mencoba merumuskan pengecer sebagai pangkalan resmi dengan syarat-syarat tertentu menyebabkan kelangkaan gas 3 kg di beberapa daerah. Gas 3 kg adalah energi penting untuk rumah tangga miskin, jadi kelangkaan ini sangat dirasakan langsung oleh konsumen.
Baca Juga:
Konsumen Merugi karena Kuota Hangus, BPKN Desak Pertanggungjawaban Provider
Efek diskon listrik. Pemerintah memberikan diskon tarif listrik untuk rumah tangga <2.200 VA, yang pada awal‑awal menyebabkan deflasi dan menurunkan inflasi IHK. Namun, dampak ini sifatnya sementara sehingga jika diskon berakhir, maka tarif listrik kembali naik dan itu bisa menjadi beban tambahan langsung ke konsumen. Proyeksi menunjukkan inflasi bisa naik saat kebijakan diskon tidak lagi berlaku. Itu berarti rumah tangga yang memakai listrik akan merasakan kenaikan beban.
Adanya kenaikan harga bahan pokok di beberapa daerah seperti minyak goreng, daging ayam, cabai yang secara langsung mempengaruhi rumah tangga terutama kelas menengah‑bawah. Karena bahan makanan merupakan bagian besar dari pengeluaran harian, kenaikan persentase (meskipun nominal kecil) terasa besar di anggaran.
Kebijakan populis lain seperti kenaikan UMP, program makan gratis yang banyak masalah, bantuan tunai langsung membutuhkan pendanaan besar, sementara ruang fiskal terbatas. Ini menyebabkan beban tersendiri bagi konsumen kelas bawah dan menengah. Dan terakhir, kebijakan Menteri ESDM untuk memonopoli penjualan bbm oleh pertamina membuat konsumen SPBU swasta kesulitan karena stoknya tidak ada.