Diantara kasus/kebijakan yang terkait kepentingan konsumen tersebut, dimana Presiden Prabowo terpaksa harus turun tangan (membatalkan/merubah) kebijakan Menterinya antara lain : temuan pagar laut di Tangerang yang membatasi ruang lingkup nelayan berakibat persediaan ikan bagi konsumen berkurang, sehingga Presiden Prabowo menginstruksikan untuk dibongkar. Menteri Keuangan Sri Mulyani memunculkan wacana kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 yang dirubah oleh Presiden Prabowo bahwa kenaikan PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah.
Kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia soal distribusi gas melon yang membuat rakyat mengantri sampai ada yang meninggal, dan kembali Presiden Prabowo turun tangan membatalkan kebijakan Bahlil. Terakhir, kebijakan pemblokiran rekening ‘nganggur’ selama tiga bulan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir 122 rekening, juga dibatalkan oleh Presiden.
Baca Juga:
BPKN RI Ungkap Risiko Konsumen Mobil Listrik: Dari Radiasi hingga Harga Jual Turun
Dari data dan kebijakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah berkontribusi menekan dan membebani konsumen. Peristiwa “Agustus Kelabu” di akhir Agustus 2025, muncul dengan adanya demonstrasi besar yang menurut beberapa pengamat ini akibat dari akumulasi frustrasi publik yang telah terpendam selama sepuluh tahun terakhir di bawah rezim pemerintahan sebelumnya. Menurut Lili Yan Ing pengamat ekonomi dari Aliansi Ekonom Indonesia, situasi ini datang bukanlah tiba-tiba, yang terjadi merupakan akumulasi hasil dari kebijakan ekonomi, proses pembuatan keputusan, dan praktik bernegara yang jauh dari amanah,” (detikfinance, Rabu, 10 Sep 2025 07:30 WIB)
Sebelumnya, cukup banyak bentuk Politik Hukum Perlindungan Konsumen yang berhubungan dengan kebutuhan hajat hidup rakyat yang merugikan/menyengsarakan konsumen. Kasus pertamax oplosan, beras oplosan, minyak goreng dan gas elpiji tidak sesuai takaran, pupuk & oli palsu, tarif listrik, tarif jalan tol, kenaikan uang kuliah tunggal, pungutan Tapera, biaya haji/umroh, masker/obat/vaksin/alkes masa Covid, dan kasus korupsi di BUMN terutama yang menyangkut komoditas publik (lihat ‘Liga Korupsi Indonesia’ dan ‘penghargaan’ OCCRP kepada mantan presiden RI ke-7), sementara gelombang PHK massal terus terjadi diantaranya akibat kebijakan efisiensi anggaran yang menambah beban sosial cukup pelik.
Di sisi lain, tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat itu dihambat oleh kelompok yang sejak sepuluh tahun lalu memperoleh kenikmatan dan mempertahankan status quo nya melalui paham “serakahnomics”. Untuk itu, Pemerintahan Presiden Prabowo mau tidak mau harus segera melakukan perombakan/pemangkasan susunan kabinet Merah Putih dengan cara memangkas menteri “warisan” pemerintahan sebelumnya dan rakyat telah cukup lama bersabar dan mengeluarkan air matanya untuk memperoleh kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini diperkuat dengan keterangan Bank Dunia bahwa 68,3% Penduduk RI termasuk kategori miskin, yakni setara 194,7 juta jiwa. (CNBC Indonesia, 10/06/2025).
Baca Juga:
Konsumen Merugi karena Kuota Hangus, BPKN Desak Pertanggungjawaban Provider
[Redaktur: Alpredo Gultom]
Penulis : Dr. Firman Turmantara Endipradja, SH., S.Sos., M.Hum dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan / Dewan Pakar Ekonomi Majelis Musyawarah Sunda (MMS) / Mantan Anggota BPKN RI (periode 2013-2016 & periode 2020-2023).