Ketujuh, Jokowi lumpuhkan daya kritis para akademisi. Aturan pemilihan rektor dan dekan diubah. Masa Orde Baru hingga Orde Reformasi, rektor dipilih oleh senat universitas dan dekan dipilih oleh senat fakultas.
Era Jokowi, senat universitas hanya bisa merekomendasikan calon rektor. Menag dan Mendikbud yang menentukan siapa rektor yang akan dipilih. Sementara dekan dipilih langsung oleh rektor. Bukan dipilih oleh senat lagi.
Baca Juga:
Didit Kunjungi Kediaman Megawati, Jokowi Makin Ketar Ketir
Dengan dipilihnya rektor oleh menteri, daya kritis kampus jauh menurun. Kepedulian kampus atas berbagai problem bangsa juga menurun. Bukan hanya rektor, para pimpinan fakultas tak lagi bisa bersikap kritis kepada penguasa.
Kedelapan, Jokowi kendalikan media. Sumber biaya media dari iklan. BUMN menyumbang biaya yang cukup lumayan besar ke media melalui iklan. Kepada media kritis, apalagi oposisi, BUMN ketakutan untuk beriklan. Ketakutan ini juga diikuti oleh berbagai perusahaan-perusahaan besar swasta.
Dengan strategi ini, hidup media yang kritis terhadap penguasa akan terancam. Tak ada pilihan lain bagi umumnya media, kecuali melunak. Bahkan sebagian terpaksa mendukung kekuasaan.
Baca Juga:
Luhut Sebut Jokowi Tak Pernah Langgar Konstitusi, Tom Pasaribu: Mari Kita Uji!
Kesembilan, Jokowi menghibur rakyat dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan pembangunan infrastruktur. Terutama jalan tol, bandara dan pelabuhan.
Pembangunan infrastruktur era Jokowi dianggap ugal-ugalan, karena mengabaikan kemampuan finansial negara. Juga tidak ada dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Negara tekor dan punya hutang hingga Rp20 triliun yang akhir-akhir ini dibongkar. Tapi, di sisi lain, rakyat merasa mendapatkan manfaat secara instan terhadap pembangunan infrastruktur, terutama jalan tol dan BLT itu. Inilah yang jadi tema para buzzer Jokowi terus membuat iklan.