WAHNANEWS.CO, Jakarta – Pada hari Selasa, 18 November 2025 DPR telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang. Pada saat perancangan, RKUHAP banyak menerima kritik dari masyarakat.
Diantaranya, adalah keseimbangan kewenangan yudisial dalam proses pidana atau judicial scrutiny. Di sisi lain, pihak DPR mengklaim bahwa aturan ini telah memastikan setiap tersangka dan korban mendapatkan perlakuan yang adil dan setara. Mari kita lihat secara sekilas beberapa isu dalam KUHAP Baru ini.
Baca Juga:
Tok! KUHAP dan KUHP Baru Sudah Lengkap, Tahun Depan Berlaku
Sekilas mengenai ketentuan dalam KUHAP Baru
Pertama, mari kita telisik mengenai praperadilan. Salah satu permasalahan praperadilan saat ini adalah penerapan hukum acara yang digunakan, terutama mengenai pembuktian. Simpang siur penggunaan hukum acara yang digunakan menjadikan praperadilan kehilangan esensinya sebagai perwujudan judicial scrutiny.
Hal ini mengakibatkan praperadilan yang menekankan kelengkapan administratif. Praperadilan dalam KUHP baru ini diatur dalam Pasal 158 – Pasal 164 (berdasarkan draf revisi terakhir yang didapatkan penulis), dan tidak menjawab permasalahan tersebut.
Baca Juga:
Ikadin Sebut Jika RKUHAP Tak Segera Disahkan Bisa Picu Kegaduhan Hukum
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam ketentuan terbaru ini adalah bagian penjelasan yang menyatakan upaya paksa yang telah mendapatkan izin ketua pengadilan tidak termasuk objek praperadilan.
Apakah tepat ketika sudah terdapat izin maka tidak dapat diajukan praperadilan? Bagaimana dengan persetujuan upaya paksa?
Kedua, mengenai pembuktian. Pasal 235 pada huruf h menyebutkan bahwa segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian pada pemeriksaan di sidang pengadilan sepanjang diperoleh secara tidak melawan hukum.