Oleh SENO GUMIRA AJIDARMA
Baca Juga:
Tingkatkan Literasi, Kepenghuluan Bahtera Makmur Ajak Warga ke Perpustakaan
NAMANYA Marina.
Tentu suatu ketika beliau adalah seorang penerjemah.
Baca Juga:
Perkuat Literasi, Dr Icol Dianto Sumbangkan Buku Untuk Perpustakaan UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary
Dalam konteks ini menerjemahkan cerita-cerita yang kreditnya atas nama Alfred Hitchcock (1899-1980), dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia, meski sebetulnya Hitchcock berasal dari Inggris dan tidak bisa berbahasa Jerman.
Artinya, cerita-cerita yang dimuat majalah remaja Hai ini telah menempuh jalan memutar, untuk sampai kepada pembacanya dalam bahasa Indonesia.
Namun, terdapat catatan sebelum tulisan ini berlanjut.
Hitchcock sebetulnya tidak pernah tercatat sebagai penulis prosa, bahkan penulis skenario pun bukan, meski berkolaborasi ketat dengan para penulis filmnya, ketika melakukan adaptasi dari prosa.
Cerita dalam ”buku-buku Hitchcock” adalah kumpulan cerita para penulis, yang memenuhi selera Hitchcock akan ketegangan, yang membuatnya disebut master of suspense.
Saya kira dari buku semacam inilah sumber Marina, meski kredit penulisnya adalah nama Hitchcock.
Salah satu cerita itu, “Nona Finch” (Hai, 45/XV/05.11.1991), terasa begitu menyentak sehingga mendorong saya untuk membuat cerita serupa, “Pelajaran Mengarang” (Kompas, 05/01/1992), yang hasilnya ternyata berbeda.
Agaknya bukanlah keserupaan cerita, melainkan kesamaan siasat yang saya dapatkan dari cerita itu.
Keserupaan --bukan kemiripan-- cerita, baru bisa saya capai kemudian, ketika menulis “Ratih” (Suara Pembaruan, 1992).
Pada pagi buta di bulan September 2021, saya baca kembali “Nona Finch” bersama dua cerita hasil terjemahan Marina yang lain: “Tamu Tak Diundang” (Hai, 22/XVI /2.06.1992) dan “Tidurlah Sayang” (Hai, 50/XV/10.12.1991).
Dari pembacaan ketiga cerita tersebut saya mencari siasat bercerita penulisnya, dan membagi temuannya di sini.
Kejujuran yang Ditolak
Mengikuti kronologi pemuatan, saya akan mulai dengan “Nona Finch”.
Protagonis cerita itu, Peter Douglas Morehead, 7 tahun, tidak dikenal mampu bercerita lisan, dan karena itu tidak pernah ditunjuk dalam pelajaran “bercerita”, yang isinya adalah pengalaman sebenarnya, di depan kelas.
Namun, karena waktu berangkat ia melihat mayat Nona Finch di parit, ia mengangkat tangan untuk bicara, meski setelah usai bercerita dia dituduh berbohong oleh gurunya, bahkan disebut berusaha menakut-nakuti seisi kelas.
Peter, yang beberapa kali terlambat ke sekolah, memang tidak bercitra bagus di mata guru. Kepala sekolah, bahkan ayahnya sendiri, pun menyudutkannya.
Sampai titik ini, jelas penulisnya telah berhasil membuat pembaca berpihak kepada Peter, antara lain melalui identifikasi diri masing-masing yang pernah berusia 7 tahun, ketika bersama Peter mereka sama-sama melihat mayat Nona Finch.
Identifikasi ini masih berlangsung, ketika masih bersama Peter, yang merasa tersinggung karena tidak dipercaya, menengok kembali mayatnya.
Kiranya dapatlah diandaikan, pembaca berharap Peter akan membuktikan betapa dirinya tidak berbohong.
Sesuai dengan kausalitas yang paling bisa diterima.
Namun, di sinilah kepengarangan menunjukkan diri.
Peter yang diberitahu bahwa Nona Finch bepergian, berpikir sebaiknyalah Nona Finch dilenyapkan, dengan menyeret mayatnya ke gorong-gorong, agar habis dimakan binatang.
Situasi dicocokkan dengan sikap yang salah, sehingga Peter bisa berkata dalam hati, ”Saya tidak mengalami apa-apa.”
Cerita menjadi cemerlang karena ironi yang tidak diucapkan.
Seorang bocah yang berkata jujur dianggap berbohong, dan kebenaran tertutup untuk selamanya.
Betapapun, bukan temuan itulah yang saya cari, karena itu barulah jawaban tentang apa ceritanya, bukan bagaimana menceritakannya.
Pada yang terakhir inilah terletak siasat penulis: (1) Peter melakukan tindakan tidak terduga, bukan berkeras melaporkan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, seperti diharapkan pembaca, melainkan menyembunyikan mayat Nona Finch; (2) segenap tindakan Peter tidak diketahui orang, hanya pembaca yang mengetahuinya.
Kriminalitas Psikoanalitik
Dalam “Tidurlah Sayang”, gadis kecil Joan dijemput oleh seorang perempuan yang tidak dikenalnya, padahal ibunya yang belum muncul di sekolah selalu menasehati agar tidak naik ke mobil laki-laki tak dikenal.
Namun, dia perempuan, mengaku kenal ibunya, dan mobilnya bagus.
Waktu naik Joan merasa mau diantar pulang.
Dibelikan coklat, dia pun merasa senang, sampai disadarinya jalan yang ditempuh berlawanan arah, bukan menuju ke rumahnya.
Selain itu, Clyde Lattimer, perempuan yang dipanggilnya “tante”, mulai salah sebut nama guru yang mereka bicarakan, salah menyebut nama Joan dengan Linda, dan meski telah diingatkan selalu salah sebut lagi.
Sambil menyetir, Nyonya Lattimer menceritakan mimpi buruk tentang kecelakaan mobil yang dialaminya, saat suami dan anaknya tewas dan hanya dirinya yang selamat.
Anaknya itulah yang bernama Linda.
Mobil semakin menjauh dari wilayah yang dikenal Joan.
Mereka tak bertemu siapa pun.
Semula Nyonya Lattimer bilang mau jalan-jalan sebentar.
Namun, sekarang Joan mulai menangis ketakutan.
Sebuah truk yang mendampingi karena sopirnya menanyakan jalan, memberi harapan sebentar, tetapi lantas menghilang.
Joan yang nekad akhirnya membuka pintu dan melompat dari mobil.
Ternyata ini membuatnya tewas di antara semak.
Nyonya Lattimer mengangkatnya ke bagasi sebagai Linda, dengan ucapan, ”Tidurlah baik-baik.”
Saat mobilnya kembali melewati sekolah Joan, banyak mobil polisi di depannya.
”Pasti ada anak hilang, untung bukan Linda,” pikirnya.
Rupanya Nyonya Lattimer mengalami trauma dari kecelakaan yang merenggut nyawa suami dan anaknya, yang berkembang menjadi gejala penyangkalan dan amnesia.
Bahwa hal itu merenggut nyawa seorang anak lain menjadi ironi cerita ini.
Alih-alih menyayangi, yang terjadi adalah mencelakakan, tetapi puncak ironi baru terletak di akhir cerita --dan ini suatu siasat-- ketika penulis menunjukkan betapa Nyonya Lattimer tidak menyadarinya.
Demikianlah, yang disebut twist (pembalikan, pemutaran) di sini berlangsung dua kali.
Pertama, usaha Joan menyelamatkan diri justru membunuh dirinya sendiri.
Kedua, Nyonya Lattimer tidak menyadari perbuatannya sama sekali.
Tragedi dibalut dengan ironi. Tak cukup satu kesedihan.
Dengan pengandaian cerita-cerita ini ditulis tahun 1950-1960-an, ketika Hitchcock sudah menapak industri film dan televisi di Amerika Serikat, cukup jelas bagaimana para penulis memanfaatkan penemuan-penemuan dalam ilmu psikologi, terutama ketaksadaran dalam psikoanalisa, sebagai dasar konstruktif gubahan mereka, dengan menariknya sampai ke titik ekstrem demi pencapaian dramatik.
Melalui orang seperti AA Brill dan Ernest Jones, psikoanalisa diperkenalkan secara populer pada tahun-tahun tersebut, melanjutkan kerja perintisnya, Sigmund Freud (1856-1939).
Freud sendiri, yang mengenal praktik psikoanalisa untuk pertama kali dari Josef Breuer (1842-1925), diundang khusus dari Austria untuk berceramah lima kali di Universitas Clark, Worchester, Massachusetts, pada September 1909.
Di Amerika Serikat, memang psikoanalisa mendapatkan sukses terbesar (Bertens, 1979: xi).
Bukan hanya Hitchcock yang telah mendaur psikoanalisa dalam kerja seni, seperti tampak dari film-filmnya, seni lukis abstrak dan surealisme kesahihannya juga didukung argumen tentang ketaksadaran.
Dampak Jalan Layang
Cerita ketiga, “Tamu Tak Diundang”, dimulai dengan sesuatu yang akrab untuk Indonesia hari ini, bahwa pembangunan jalan layang mengubah nasib pedagang kecil di sekitarnya, dan perubahan nasib dalam bisnis menjurus ke suatu alur seperti berikut:
Sy Cottle, yang pom bensin miliknya sudah tujuh tahun berhenti, karena tiada lagi mobil lewat, pada suatu malam bersalju yang dingin dan berbadai pintu rumahnya diketuk orang.
John Dace namanya, dan ia mencari bensin.
Walau sudah tahu istri John Dace kedinginan di mobil, Sy yang mula-mula mengaku sudah tak punya bensin, akhirnya menjual bensinnya dengan harga sangat tinggi.
Tanpa membelinya, Dace tak mungkin mencapai pom bensin berikut.
Sy kemudian sungguh memeras, dalam percakapan yang juga memeras emosi.
Sambil menyumpah Dace menembus badai salju untuk mengambil uang dan mobilnya.
Waktu muncul lagi bersama Helen, istrinya, perempuan itu bibirnya sudah membiru.
Namun, untuk membayar, uang yang dilemparkannya segepok.
Padahal, adegan pemerasan tadi memancing emosi karena Dace mengaku uangnya pas-pasan.
Rupanya kedua orang ini baru saja merampok bank, dan laras revolver tertuju kepada Sy, yang kemudian diikat di kursi.
Jika Sy tidak memeras, dan uang pas-pasan Dace cukup, mereka tentu sudah melaju ke bandara, tempat pilot komplotannya menunggu dengan helikopter.
Sekarang tiada jaminan Sy tak lapor polisi meski tempatnya terpencil.
Mereka akan pergi tanpa membayar, dan tahu bahwa setelah api di tungku mati, Sy bisa mati kedinginan di daerah pegunungan itu.
Menurut Dace ini setimpal, karena tadi Sy tega membiarkan Helen kedinginan di mobil.
Patutkah Sy mati karena beberapa liter bensin?
”Seperti yang Bapak bilang, harga bensin mahal sekali,” kata Dace.
Di sini juga terdapat dua kali twist.
Pertama, bahwa bensin diambil semua tanpa bayar, meski semula pemerasan untuk setengahnya tampak pasti berhasil.
Kedua, Sy bahkan bisa mati kedinginan beberapa jam setelah api mati, sebagai kemungkinan yang tidak pernah terbayangkan.
Itulah siasat Hitchcockian.
Kematian Sy akan jadi tragedi, tetapi yang menoreh adalah ironinya, bahwa orang baik-baik yang baru sekali itu bermaksud mengambil keuntungan, mendapat nasib semalang-malangnya di tangan ”penjahat” yang justru akan selamat.
Para Pembunuh Amatir
Dari ketiga cerita ini dapat diketahui, bahwa seni bercerita para penulisnya terletak pada siasat menata informasi.
Deskripsi informasi demi pengetahuan berbeda dengan penyusunan informasi demi ketegangan: informasi tidak pernah disampaikan secara utuh, untuk mengarahkan dugaan pembaca, dan ketika disampaikan selengkapnya mestilah di luar dugaan, tetapi sekaligus bisa diterima.
Benarkah, seperti kata sutradara Jean-Luc Godard, etika mendahului estetika?
Dalam cerita pertama anak kecil terbebaskan dari tanggung jawab; dalam cerita kedua perempuan itu jiwanya terganggu; dalam cerita ketiga memang benar orang baik-baik menerima akibat kejahatannya, tetapi penjahatnya terselamatkan.
Namun, ada kalanya cerita-cerita dibukukan Hitchcock, justru karena tidak bisa melanggar tabu untuk hadir di bioskop atau televisi.
Tentang perilaku kriminal, Hitchcock berkata:
”Sejumlah pembunuhan yang menghibur (delightful) telah dilakukan kaum kriminal profesional. Pada umumnya, betapa pun, hasil kerja yang lebih menarik di bidang ini dilakukan para amatir. Amatir yang sangat berbakat, tetapi tetap amatir. Mereka adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan mereka dengan martabat, selera yang bagus, dan orisinalitas, diadon dengan suatu rasa grotesque. Lebih jauh lagi, mereka tidak akan membuat Anda nanti bosan, dengan menceritakan bagaimana mereka mendapatkan cara-cara mereka. Inilah penganiayaan santun dan sehat, sebagaimana dipraktikkan orang-orang beradab, dan saya kira itu menjadikannya bacaan bagus.” (Hitchcock, 1957: 8).
Jadi, daripada menguasai seni membunuh seperti kriminal profesional, lebih baik jadi penulis cerita kriminal yang membunuh secara amatir, itu pun cukup dalam tulisan --yang kenyataannya memang menarik sebagai tulisan, maupun menarik suatu pelajaran, kalau maunya begitu. (Seno Gumira Ajidarma, Wartawan)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul “Siasat ala Hitchcock”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/19/siasat-ala-hitchcock/.