Daryono juga menyatakan bahwa kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai mirip dengan yang dirasakan ilmuwan Indonesia terkait Seismic Gap Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Siberut (M8,9).
"Gempa di kedua segmen megathrust ini kemungkinan hanya tinggal menunggu waktu karena sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar di wilayah tersebut," ujarnya.
Baca Juga:
Gempa Sesar Anjak Langsa Magnitudo 4.4, Guncangan Kuat di Wilayah Perbatasan Aceh-Medan
Namun, masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir karena BMKG dapat memantau situasi seperti yang terjadi di Jepang secara real-time.
"Tidak perlu khawatir karena kami dapat menganalisis dengan cepat, termasuk memodelkan tsunami dan dampaknya menggunakan sistem InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System). BMKG akan segera menyebarkan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami ke seluruh wilayah Indonesia, terutama bagian utara," ungkap Daryono.
Sebagai langkah antisipasi dan mitigasi, BMKG telah menyiapkan sistem monitoring, pemrosesan, dan penyebaran informasi gempa bumi serta peringatan dini tsunami yang lebih cepat dan akurat.
Baca Juga:
Pemkot Jakarta Barat Sosialisasi Mitigasi Gempa, Antisipasi Megathrust
Sejauh ini, BMKG telah memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, simulasi evakuasi berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, pemangku kepentingan, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, industri pantai, serta infrastruktur penting seperti pelabuhan dan bandara pantai.
Pelatihan ini dikemas dalam program Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS), dan Pembentukan Masyarakat Siaga Tsunami (Tsunami Ready Community).
"Kami berharap upaya mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami ini dapat berhasil dengan menekan risiko dampak bencana yang mungkin terjadi seminimal mungkin, bahkan hingga mencapai zero victim," tutupnya.