Pada fase Netral, angin pasat berhembus dari timur ke barat melintasi Samudra Pasifik, menghasilkan arus laut yang juga mengarah ke barat yang disebut Sirkulasi Walker. Suhu permukaan laut di barat Pasifik akan selalu lebih hangat dibanding bagian timur Pasifik.
Sementara saat fase El Nino, angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini dikaitkan dengan meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik.
Baca Juga:
Dinsos Kota Bengkulu Siagakan 80 Tagana Antisipasi Dampak Fenomena La Nina
Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia mengalami peningkatan risiko kekeringan.
Ketika fase La Nina terjadi, hembusan angin pasat dari timur Pasifik ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Penguatan angin pasat ini mendorong massa air laut ke arah barat, sehingga suhu permukaan laut di timur Pasifik menjadi lebih dingin.
Bagi Indonesia, kondisi ini meningkatkan risiko banjir, menurunkan suhu udara pada siang hari, dan meningkatkan jumlah badai tropis.
Baca Juga:
Ancaman La Nina Tak Seburuk Dugaan, BMKG Ungkap Sisi Positif Tersembunyi
"El Nino menunjukkan kondisi anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik
ekuator bagian timur dan tengah yang lebih panas dari biasanya, sementara suhu permukaan laut di wilayah Pasifik bagian barat dan perairan Indonesia yang biasanya hangat menjadi lebih dingin," jelas BMKG di situs resminya, Selasa (23/7/2024).
"Ketika El Nino terjadi, daerah pertumbuhan awan bergeser dari wilayah Indonesia ke Samudra Pasifik bagian tengah, yang menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia," tambah BMKG.