ROBERT
N. Bellah dalam buku Beyond Belief
(1976) mengatakan: "Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi merupakan masyarakat
modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah Nabi sendiri wafat, tidak
bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat ini belum siap dengan
prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang
modern seperti yang dirintis Nabi."
Keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam membangun Negara Madinah,
sehingga dijadikan representasi negara modern, disebabkan karena beliau telah
berhasil meletakkan fondasi dan konstruksi masyarakat madani dengan
menggariskan etika dan tanggung jawab bersama dalam sebuah dokumen yang dikenal
sebagai Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).
Baca Juga:
Merasa Dirinya Kaset Rusak, Ikrar Nusa Bhakti Sebut Kelompoknya Dikalahkan 1 Keluarga yang Isinya Cuma 5 Orang
Piagam inilah yang oleh kalangan sejarawan modern kemudian
dikenal sebagai manifesto politik Nabi. Montgomery Watt menyebutnya sebagai The Constitution of Medina, sebuah
konstitusi modern pertama yang memperkenalkan wacana kebebasan beragama,
persaudaraan antaragama, perdamaian dan kedamaian, persatuan, etika politik,
hak dan kewajiban warga negara, serta konsistensi penegakan hukum berdasarkan
kebenaran dan keadilan.
Selama kurang lebih sepuluh tahun di Madinah, sejarah telah
mencatat keberhasilan Nabi dalam membangun civil
society yang bernuansakan keadilan, inklusivisme, dan demokratisasi.
Kondisi pluralisme keberagamaan tidak menjadi penghalang bagi terbentuknya
hubungan kemasyarakatan dan kenegaraan yang harmonis dan populis. Umat
non-muslim pun tetap terjaga hak-haknya tanpa mendapat gangguan dari umat
Islam.
Mengapa Nabi dengan manifesto politiknya mampu membangun Negara
Madinah menjadi sebuah negara yang demokratis, tata tentrem kerta raharja,
padahal tanpa dilengkapi sarana eksekutif, legislatif, dan yudikatif
sebagaimana tren negara modern? Setidaknya ada tiga prinsip yang dipegangi
Nabi, kesederajatan dan keadilan, inklusivisme, dan iman.
Baca Juga:
Soroti Kendala Langkah PSI ke Senayan, Pengamat: Minim Figur Kunci
Prinsip
kesederajatan dan keadilan mencakup semua aspek, baik politik, ekonomi, dan
hukum. Dalam aspek politik, Nabi mengakomodasikan seluruh kepentingan. Semua
rakyat mendapat hak yang sama dalam politik. Meskipun suku Quraish berpredikat
the best dan Islam sebagai agama dominan, mereka tidak dianakemaskan.
Dalam aspek ekonomi, Nabi mengaplikasikan ajaran
egaliterianisme, yakni pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh
masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk berusaha
dan berbisnis (QS.17:26;59:7). Karena itu, Nabi sangat menentang paham
kapitalisme di mana modal atau kapital hanya dikuasai suatu kelompok tertentu
yang secara ekonomi telah mapan.
Misi egaliterianisme ini sangat tipikal dalam ajaran Islam karena
misi utama yang diemban oleh Nabi bukanlah misi teologis, dalam artian untuk
membabat habis orang-orang yang tidak seideologi dengan Islam tetapi untuk
membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.