Dari sini kemudian Mansour Fakih mensinyalir bahwa perlawanan
yang dilakukan kafir Quraish bukanlah perlawanan agama (teologi) tetapi lebih
ditekankan pada aspek ekonomi, karena prinsip egaliterianisme Islam
berseberangan dengan konsep kapitalisme Makkah.
Di samping faktor politik dan ekonomi, hal sangat mendasar yang
ditegakkan Nabi adalah supreme of court
(konsistensi hukum). Sebagai sejarawan ulung, Nabi memahami bahwa aspek hukum
sangat erat kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa. Karena itulah Nabi tidak
pernah membedakan kalangan atas, orang bawah, atau keluarganya sendiri.
Baca Juga:
Merasa Dirinya Kaset Rusak, Ikrar Nusa Bhakti Sebut Kelompoknya Dikalahkan 1 Keluarga yang Isinya Cuma 5 Orang
Dalam sebuah hadis, Nabi pernah memberikan early warning yang cukup keras bahwa: "Kehancuran suatu bangsa di
masa lalu adalah, karena jika "orang atas" (al-sharif) melakukan kejahatan
dibiarkan, namun jika "orang bawah" (al-dha'if)
pasti dihukum."
Prinsip lain yang dipegangi Nabi adalah inklusivisme. Menurut
mendiang Cak Nur (1996), inklusivisme merupakan konsekuensi dari
perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat secara positif dan optimistis,
yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS.7:172 dan QS.30:30)
sebelum terbukti sebaliknya.
Artinya,
kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik.
Karenanya, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk
didengar.
Baca Juga:
Soroti Kendala Langkah PSI ke Senayan, Pengamat: Minim Figur Kunci
Dari pihak yang mendengar, kesediaan untuk mendengar sendiri
memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati. Inklusivisme
adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan
mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik.
Inilah yang dipraktekkan Nabi ketika memimpin Negara Madinah.
Tidak jarang beliau mendengar dan menerima kritik dari para sahabatnya,
terlebih sahabat Umar bin Khaththab yang terkenal sebagai kritikus ulung.
Sahabat Umar pun tidak dianggap sebagai rival, makar, antikemapanan, apalagi
ekstrem kanan oleh Nabi meski berbagai kritikan tajam menerpa beliau.
Prinsip lain yang dikembangkan Nabi adalah iman. Dalam agama
mana pun, iman menjadi basis untuk menumbuhkan kesadaran moral. Nabi yang
secara gemilang berhasil membangun civil
society, sehingga dikagumi di Timur dan Barat pada hakikatnya karena
dilakukan dengan semangat sosial yang tinggi yang terpancar dari iman yang kuat
dan kokoh.