WahanaNews.co | Meskipun teknologi nuklir merupakan energi paling bersih dan bisa menghasilkan listrik per kwh yang lebih murah, Indonesia dinilai masih belum siap memanfaatkan teknologi tersebut dalam waktu dekat.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan.
Baca Juga:
Penyebutan KKB Jadi OPM Disebut Pengamat Langkah Maju dari Pemerintah
Menurut Mamit, ada sejumlah hal yang mesti diperhatikan pemerintah jika hendak membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir.
Pertama, faktor kesiapan transmisi dan distribusi milik PLN dalam menyerap listrik dari nuklir.
“Karena jika sampai, misalnya jaringan PLN tidak siap seperti terjadi black out, maka bisa berbahaya bagi PLTN,” ujar Mamit dalam keterangannya yang dikutip, Rabu (26/10/2022).
Baca Juga:
Presiden Jokowi Sulit Dimakzulkan, Pengamat Ungkap Alasannya
Hal kedua, lanjut Mamit, adalah faktor keamanan.
Maksudnya, perlu diperhatikan sejauh mana kesiapan pembangunan PLTN yang tetap aman dan tidak menimbulkan bencana.
Lalu ketiga, faktor sumber daya manusia atau SDM.
“Teknologi nuklir yang sarat risiko, membutuhkan SDM yang benar-benar mumpuni dan menguasai teknologi tersebut,” ujar Mamit,
Faktor keempat yang menurut Mamit tidak kalah penting, adalah soal penanggulangan limbah nuklir.
Menurutnya, harus dipastikan bahwa limbah nuklir benar-benar tersimpan dengan aman dan kuat. Kemudian kelima, fakktor geografis.
“Pembangunan PLTN mesti dilakukan di daerah yang bebas dari gempa maupun gangguan alam yang berpotensi merusak PLN. Terakhir, soal sosialisasi dan penerimaan masyarakat,” katanya.
Ditambahkannya, pemerintah juga harus pastikan bahwa daerah yang akan dibangun PLTN merupakan daerah yang bebas dari gempa dan gangguan alam yang bisa merusak PLTN.
Selanjutnya, faktor sosialisasi dan penerimaan masyarakat. Karenanya, menurut Mamit, Indonesia masih perlu belajar dari negara-negara yang sudah menggunakan teknologi nulir, seperti Jepang, Rusia, atau AS.
“Saya rasa kita masih butuh waktu panjang, terutama sosialisai sehingga bisa diterima masyarakat,” ujar Mamit.
Namun jika hendak menuju pencapaian net zero emission (NZE), lanjut Mamit, Indonesia harusnya baru bisa memulai setidaknya lima tahun lagi.
“Minimal sudah melakukan pra FS atau pra studi kelayakan. Konstruksi bisa dimulai 2040, misalnya,” pungkasnya. [Tio]