Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko menjelaskan suhu panas di wilayah Asia dipengaruhi salah satunya oleh gerak semu Matahari. Faktor yang mempengaruhi lainnya adalah pemanasan global.
"Para pakar iklim menyimpulkan bahwa tren pemanasan global dan perubahan iklim yang terus terjadi hingga saat ini berkontribusi menjadikan gelombang panas semakin berpeluang terjadi lebih sering," ujarnya dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Kaum Miskin Paling Terancam, Panas Ekstrem di Eropa Picu 50 Ribu Kematian
Gelombang panas, kata Urip, punya beberapa karakteristik. Pertama, gelombang panas umumnya terjadi pada wilayah yang terletak pada lintang menengah hingga lintang tinggi, di belahan Bumi bagian utara atau selatan.
Kedua, terjadi pada wilayah geografis yang memiliki atau berdekatan dengan massa daratan dengan luasan yang besar, atau wilayah kontinental atau sub-kontinental.
"Sementara wilayah Indonesia terletak di wilayah ekuator, dengan kondisi geografis kepulauan yang dikelilingi perairan yang luas."
Baca Juga:
Peringatan Dini Kekeringan Meteorologis: Wilayah RI Terdampak hingga Agustus 2024
Ketiga, gelombang panas biasanya terjadi berkaitan dengan berkembangnya pola cuaca sistem tekanan atmosfer tinggi di suatu area dengan luasan yang besar secara persisten dalam beberapa hari.
Itu berkaitan dengan aktivitas gelombang Rossby di lapisan troposfer bagian atas. Dalam sistem tekanan tinggi tersebut, pergerakan udara dari atmosfer bagian atas menekan udara permukaan (subsidensi) sehingga termampatkan.
Alhasil, kata Urip, suhu permukaan meningkat karena "umpan balik positif antara massa daratan dan atmosfer." Pusat tekanan atmosfer tinggi ini menyulitkan aliran udara dari daerah lain mengalir masuk ke area tersebut.