Meski pikirannya sedang kalut memikirkan proyek besarnya itu, ia masih sempat berpiknik dengan anak-anaknya ke daerah Cilincing, Jakarta Utara.
Saat anak-anaknya sedang bermain di pantai, ia termenung memandangi pohon kelapa yang berdiri tegak di tanah yang lunak.
Baca Juga:
PLN Beberkan Strategi Atasi Trilema Energi di Universitas Brawijaya
Prof. Ir. Sedijatmo berpikir kenapa pohon kelapa yang berakar serabut bisa berdiri kokoh di tanah lunak walaupun diterpa angin kencang, seharusnya pohon kelapa berakar tunjang yang dinilai lebih kuat.
Sejurus kemudian, Prof. Ir. Sedijatmo menarik kesimpulan justru akar serabut sangat efisien karena dengan 'mencakar' tanah seluruhnya dan sekelilingnya, akar ini lebih kuat menahan berdirinya pohon dibandingkan akar tunjang yang mencapai lapisan tanah keras jauh di bawah permukaan.
Kemudian, timbul pikiran Prof. Sedijatmo memasang tiang transmisi di Ancol identik dengan akar serabut. Sistem fondasi baru ini disebut 'sistem cakar ayam'.
Baca Juga:
Peran Mahasiswa Papua Mendukung Pembangunan Kesejahteraan di Wilayah Papua
Sistem konstruksi ini terdiri dari pelat beton setebal 10 cm dan sejumlah pipa beton berdiameter 1 meter dan tinggi 2 meter.
Setelah pipa beton ditanam tegak di dalam tanah, dibuatlah pelat beton di atasnya sedemikian rupa sehingga pelat dan pipa-pipa menjadi satu kesatuan. Di atas pelat inilah didirikan tiang transmisi yang berupa rangka-rangka besi itu.
Dengan sistem ini, Prof. Ir. Sedijatmo dapat menyelesaikan seluruh proyek sebelum batas waktu yang ditentukan.