Secara lebih spesifik, satu persen populasi dengan kekayaan tertinggi di dunia tercatat menyumbang kontribusi 26 kali lebih besar terhadap peningkatan kejadian gelombang panas yang dulunya hanya terjadi satu kali dalam seratus tahun.
Tak hanya itu, mereka juga bertanggung jawab 17 kali lebih besar dalam memperparah kekeringan, termasuk di kawasan sensitif seperti hutan hujan Amazon.
Baca Juga:
Antisipasi Dampak Perubahan Iklim, KLH RI Gelar Bimtek Peningkatan Kapasitas Teknologi Tepat Guna di Ngada
Khususnya, kelompok 10 persen orang terkaya di dua negara penyumbang emisi terbesar dunia, Tiongkok dan Amerika Serikat, berkontribusi pada peningkatan intensitas suhu ekstrem dua hingga tiga kali lipat dibandingkan rata-rata global.
Selama tiga dekade terakhir, pemanasan global telah mengalami lonjakan signifikan dengan peningkatan suhu rata-rata sebesar 1,3 derajat Celsius. Kenaikan ini disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan praktik deforestasi yang tak terkendali.
Untuk memperkuat kesimpulan studi, tim peneliti memadukan data ekonomi global dengan pemodelan iklim. Pendekatan ini memungkinkan mereka melacak emisi karbon berdasarkan tingkat pendapatan, mencakup bukan hanya konsumsi langsung, tetapi juga emisi yang dihasilkan dari investasi finansial.
Baca Juga:
Front Dingin Picu Bencana Salju dan Banjir di Australia Timur, Ratusan Kendaraan Terjebak
Carl-Friedrich Schleussner, penulis senior sekaligus Kepala Penelitian Dampak Iklim Terpadu di Institut Internasional untuk Analisis Sistem Terapan (IIASA), menegaskan bahwa kebijakan iklim akan gagal jika tidak diarahkan pada akuntabilitas kelompok berpendapatan tertinggi.
Menurutnya, kelompok inilah yang menjadi sumber utama kerusakan lingkungan di masa depan.
Para ilmuwan dalam studi ini juga menyerukan penerapan pajak progresif terhadap kekayaan dan investasi yang memiliki intensitas emisi tinggi.