WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pemerintah semakin memperketat pengawasan terhadap alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), khususnya lahan sawah.
Setiap individu maupun badan usaha yang mengalihfungsikan lahan pertanian tanpa mengikuti prosedur resmi akan berhadapan dengan sanksi hukum, termasuk ancaman pidana.
Baca Juga:
BPN Ngada Gencar Lakukan Pemetaan ZNT
Ketentuan tersebut disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, saat rapat koordinasi bersama para kepala daerah se-Jawa Barat di Bandung, Kamis (18/12).
Dalam forum itu, Nusron menjelaskan secara rinci mekanisme penggantian lahan serta konsekuensi hukum bagi pihak yang melanggar aturan alih fungsi LP2B.
"Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 Pasal 44, yang boleh untuk alih fungsi LP2B hanya Proyek Strategis Nasional (PSN) dan untuk kepentingan umum.
Baca Juga:
Inilah Perbedaan Sertifikat Tanah Elektronik dan Fisik, Wajib Tahu Sebelum Mengurus
Itu pun wajib mengganti lahan," katanya, dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (19/12/2025).
Ia menegaskan, terdapat sejumlah ketentuan yang wajib dipatuhi dalam penggantian lahan sawah, dan hal ini harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah sebagai pihak pemberi izin.
"Satu, wajib mengganti lahan tiga kali lipat manakala lahannya beririgasi. Bahkan di PP-nya ditambah, selain tiga kali lipat jumlahnya, produktivitasnya juga harus sama," tuturnya.
Lebih lanjut dijelaskan, untuk lahan sawah hasil reklamasi, penggantian lahan minimal dilakukan dua kali lipat dari luas awal.
Sementara itu, lahan sawah nonirigasi diwajibkan diganti paling sedikit satu kali lipat.
Nusron juga menekankan bahwa lahan pengganti tidak boleh berasal dari sawah yang sudah ada agar tidak mengurangi luas lahan pertanian eksisting.
Selain itu, lahan pengganti harus merupakan milik pemohon, bukan berasal dari aset pemerintah.
"Pemohon wajib nyari lahan yang bukan sawah, dicetak menjadi sawah. Jangan nyari lahan sawah baru, tidak ada artinya sawah lagi," tegasnya.
Apabila kewajiban penggantian lahan tersebut tidak dipenuhi, pemerintah akan menerapkan sanksi tegas sesuai peraturan perundang-undangan.
Tidak hanya ancaman pidana, pelanggar dari unsur perseorangan juga berpotensi dikenai denda hingga Rp1 miliar.
"Kalau tidak melakukan itu, Pasal 72 UU 41/2009 ada sanksi pidana, lima tahun penjara. Yang kena itu pemohon dan yang memberikan izin, serta pejabat yang membiarkan, termasuk gubernur," terang Nusron Wahid.
Untuk memberikan kepastian mekanisme pelaksanaan, Nusron memaparkan tiga skema penggantian lahan yang dapat dipilih.
Pertama, pemohon secara mandiri mencari dan mencetak lahan pengganti, yang selanjutnya diverifikasi oleh Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Pertanian.
Kedua, pemohon menyiapkan lahan, sementara proses pencetakan sawah dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah dengan pembiayaan dari pemohon.
Ketiga, pemohon membayar ganti rugi lahan beserta biaya pencetakan sawah yang disediakan oleh pemerintah apabila mengalami kesulitan memperoleh lahan pengganti.
Dengan pengaturan tersebut, pemerintah menegaskan bahwa alih fungsi lahan sawah tetap dimungkinkan, namun hanya untuk kepentingan yang sangat terbatas dan dengan pengawasan ketat guna menjaga ketahanan pangan nasional.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]