WahanaNews.co | Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi
Isra, mengatakan, amandemen terbatas Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 tidak mungkin atau mustahil dilakukan.
Alasannya, jika ada satu pasal yang
diubah dalam konstitusi negara, yang juga bersentuhan dengan pasal lainnya,
maka pasal-pasal tersebut harus ikut direvisi.
Baca Juga:
Wakil Ketua MPR: Belum Ada Fraksi yang Usul Amendemen UUD 1945
"Sekarang malah ada wacana
melakukan amandemen terbatas UUD 1945. Hal itu
tidak mungkin dilakukan. Kalau orang bicara satu titik dalam konstitusi, maka
dia akan bersentuhan dengan titik lain," ujar Saldi, dikutip laman resmi MK, Minggu (11/4/2021).
Saldi menjelaskan, di awal reformasi, pada 1998, mulai ada keinginan bangsa
Indonesia mengamandemen UUD 1945.
Berdasarkan risalah perubahan UUD
1945, ide awal melakukan amandemen itu sangat sederhana.
Baca Juga:
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid Tegaskan Belum Ada Fraksi yang Usul Amendemen UUD 1945
Pengalaman di masa Orde Lama dan Orde
Baru, masa jabatan Presiden begitu panjang dan kekuasaannya
sangat luas dan dominan.
Hal ini menjadi ide awal melakukan
perubahan UUD 1945.
"Ada pemikiran, kekuasaan Presiden harus dibatasi. Ketika ada pemikiran untuk
membatasi kekuasaan Presiden di salah satu sisi, ada keinginan memperkuat
kewenangan DPR. Pembahasan itu terjadi dengan intens," kata Saldi.
Namun, dalam konsep bernegara, apabila
menyentuh satu titik dalam desain bernegara, tidak berhenti di titik itu saja.
Misalnya, ketika ingin memperkuat
kewenangan DPR, maka akan bersentuhan dan berimplikasi
terhadap lembaga-lembaga negara lainnya.
Alhasil, kata Saldi, terjadi perubahan
UUD 1945 yang jauh lebih komprehensif.
Misalnya, salah satu isu terkait
hubungan DPR dengan kekuasaan kehakiman, terutama dalam proses pengisian hakim
agung.
Ketika proses pengisian hakim agung
diperbaiki, lalu tiba-tiba muncul isu baru, terjadi penumpukan perkara di
Mahkamah Agung (MA), sehingga harus mempersiapkan lembaga lain, dan akhirnya muncul Mahkamah Konstitusi (MK).
"Misalnya, kalau mau
mengutak-atik DPR, maka akan ada hubungannya dengan MPR, DPD, MK, MA, dan lainnya," ucap Saldi.
Dalam konteks itu, lanjut Saldi, salah
satu isu besarnya adalah soal pembentukan undang-undang.
Dengan demikian, para pengubah
konstitusi membuat desain baru yang lebih ideal terkait pembentukan undang-undang.
Namun, dalam
risalah perubahan UUD 1945 yang terkait dengan kewenangan pembentukan
undang-undang, hampir tidak ada diskusi soal pembentukan undang-undang dalam sistem presidensial.
Menurut Saldi, pengubah UUD 1945 sudah
bersepakat mempertahankan sistem pemerintahan presidensial.
Dia menerangkan, secara karakteristik, ada perbedaan mendasar antara pembentukan undang-undang dalam
sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer.
Hal itu tidak terlepas dari relasi
antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Dalam sistem parlementer, pemegang
kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif berkelindan ada di
parlemen.
Sedangkan yang membentuk undang-undang
adalah gabungan antara anggota parlemen dan anggota eksekutif, yang sekaligus
juga anggota parlemen.
Jadi, pembentukan undang-undang dalam
sistem parlementer tidak terjadi pemisahan relasi yang ketat antara pemegang kekuasaan
eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif.
Dalam sistem parlementer, Pemilu hanya untuk memilih anggota legislatif saja.
Sementara, dalam sistem presidensial,
posisi antara eksekutif dan legislatifnya berbeda.
Ketika ada Pemilu
untuk memilih anggota legislatif, ada juga Pemilu
untuk memilih Presiden, seperti sistem yang digunakan
di Indonesia.
"Ketika Pemilu
dibedakan untuk memilih anggota legislatif dan Presiden,
itu juga berpengaruh pada pembentukan undang-undang," jelas Saldi.
Dia menuturkan, diberlakukannya
kembali UUD 1945 pasca-Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, otomatis kembali pada
desain fungsi legislasi yang sangat terbatas dalam UUD 1945.
Ketika kembali ke UUD 1945, pembahasan
terhadap undang-undang masih mencari bentuk.
Satu-satunya dokumen yang bisa
dipelajari agak detail oleh anggota DPR-GR adalah
dokumen proses pembentukan undang-undang yang ada di bawah UUDS 1950, yang
menggunakan sistem parlementer.
Saldi menyebutkan, dokumen Peraturan
Tata Tertib DPR di bawah UUDS 1950 menjadi contoh pembahasan undang-undang
setelah kembali ke UUD 1945.
"Di situlah mulai muncul
pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif dalam pembentukan
undang-undang. Kalau kita baca UUD 1945 yang dibuat oleh para pendiri negara,
tidak ada sama sekali ruang untuk pembahasan bersama antara eksekutif dan
legislatif dalam pembentukan undang-undang," kata dia.
Saldi mengingatkan agar semua pihak
dapat memahami soal desain pembentukan undang-undang.
Salah satunya mempelajari Putusan MK
Nomor 92 Tahun 2012 yang di dalamnya memberikan penjelasan jauh lebih jelas
mengenai pembentukan undang-undang. [dhn]