WahanaNews.co | Sekretaris Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM Audy Murfi M.Z. mengungkapkan, saat ini sistem peradilan pidana di Indonesia masih cenderung punitif, yakni pemberian sanksi semata-mata untuk menghukum seseorang.
"Sistem peradilan pidana yang cenderung punitif tercermin dari jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan melebihi kapasitasnya hingga 103 persen," kata Audy Murfi saat menjadi narasumber webinar nasional bertema Institusionalisasi Pancasila dalam Sistem Hukum Nasional yang diunggah di kanal YouTube FHUB Official, dipantau dari Jakarta, Rabu (27/10). Seperti dilansir Antara.
Baca Juga:
Jessica Wongso Disebut Jaksa Manfaatkan Film Dokumenter Tarik Simpati Publik
Menurut dia, persoalan penghuni lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas dapat diatasi dengan penerapan keadilan restoratif. Dalam keadilan tersebut, Audy Murfi menyarankan para penegak hukum mengoptimalkan peran lembaga adat ataupun lembaga lain yang terkait dengan penyelesaian suatu sengketa.
Penyelesaian sengketa pun dapat mengedepankan upaya pemberian rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban, termasuk korban pelanggaran hak asasi manusia.
Persoalan sistem peradilan pidana yang cenderung punitif itu merupakan salah satu dari empat isu strategis pemantapan sistem hukum nasional sejak 2020 dan masih akan berlanjut pada tahun 2024.
Baca Juga:
Ratusan Guru Gelar Aksi Solidaritas, Kawal Sidang Perdana Guru SD Konawe
Selain persoalan tersebut, Audy Murfi juga menyebutkan tiga isu lainnya. Pertama, terlalu banyak keberadaan regulasi peraturan perundang-undangan yang tumpang-tindih, inkonsisten, multitafsir, dan disharmoni sehingga berdampak pada kemunculan ketidakpastian hukum di Tanah Air.
Kedua, pelaksanaan sistem peradilan Indonesia, baik pidana maupun perdata, belum secara optimal memberikan kepastian hukum dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Ketiga, dalam sistem peradilan perdata, pelaksanaan eksekusi perlu dibenahi. Salah satu faktor pendorong diperlukannya pembenahan itu adalah Indonesia pada indikator penegakan kontrak masih berada di peringkat 146 dari 196 negara.