WahanaNews.co | Pengamat politik Center for
Strategic and International Studies (CSIS), Arya
Fernandes, mengajak semua pihak untuk memantau revisi undang-undang Pemilu dan Pilkada.
Arya pun menyoroti peningkatan
anggaran partai politik dalam revisi tersebut.
Baca Juga:
Ketua Bawaslu: Seharusnya Pemilu dan Pilkada Dipisah Tak Digelar Dalam Satu Tahun
"Yang lebih penting kita dorong
juga pada Pasal 11A disebutkan ada peningkatan anggaran partai politik,"
katanya, dalam sebuah diskusi secara daring, Minggu (24/1/2021).
Menurut Arya, dua aspek yang juga perlu
diperhatikan adalah masalah pendanaan dan pencalonan.
Pada Pasal 11, disebutkan pemilu
nasional dan daerah dibiayai oleh APBN. Pada gelaran sebelumnya, pilkada
didanai oleh APBD.
Baca Juga:
Kanwil Kemenag DIY Imbau Dai Jaga Kerukunan Menjelang Pilkada Serentak 2024
Selain itu, kata Arya, revisi UU
pemilu dan pilkada ini turut mempengaruhi proses rekrutmen dan partisipasi
politik.
Dalam draft yang dimilikinya, ia melihat sudah ada perubahan pemberian
sanksi jika ditemukan pelanggaran, seperti mahar atau imbalan.
"Yang lebih penting harus kita
lihat apakah perubahan itu akan mempengaruhi electoral outcomes-nya. Misalnya, apakah kualitas kebijakan kita
semakin baik atau tidak," ujarnya.
Terkait dengan pencalonan, Arya
mengatakan dalam draf RUU pemilu dan pilkada mengatur bahwa parpol yang
terbukti menerima imbalan dalam pencalonan pileg dan pilkada dilarang
mengajukan calon pada periode pemilu berikutnya.
Adapun soal pendanaan kampanye, Arya
melihat sumbangan untuk DPD masih sangat kecil.
Ia pun tak menemukan ketentuan audit
investigatif, transparansi, dan akuntabilitas terkait dana kampanye dalam draf RUU tersebut.
Di sisi lain, Arya mengatakan revisi
UU pemilu juga akan mempengaruhi kualitas calon anggota legislatif terpilih.
Ia melihat ada potensi perubahan
mekanisme pemilihan kandidat di internal partai dalam UU Pemilu yang baru.
Kemudian, Arya menyebut revisi itu
akan mempengaruhi level kompetisi antarpartai. Menurutnya, kompetisi yang tinggi akan
mempengaruhi kualitas caleg terpilih.
Lebih lanjut, Arya mengatakan, revisi UU Pemilu bakal mempengaruhi perilaku pemilih dan
representasi politik.
Namun, dia melihat tidak banyak
perubahan pada revisi kali ini. Menurutnya, revisi yang sudah dilakukan
beberapa kali belum membuat parpol melakukan reformasi internal.
"Sehingga efeknya tidak terjadi,
baik pada level partai dan juga representasi," ujar Arya.
Arya menambahkan revisi tersebut
diduga untuk memaksimalkan perolehan suara partai dan dukungan publik.
Kemudian, revisi UU Pemilu juga diduga
terkait dengan partai yang memegang kendali pemerintahan.
"Bila tidak memegang kendali
penuh biasanya dilakukan melakukan aksi judisial, interaksi dengan pihak luar,
atau interaksi dengan masyarakat," katanya.
Revisi UU Pemilu dan Pilkada
masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas DPR 2021.
Draf revisi UU tersebut
mengatur tentang rencana pilkada serentak selanjutnya, yakni pada tahun 2022
dan 2023.
Dalam UU Pemilu
sebelumnya, Pilkada serentak di seluruh Provinsi, Kabupaten dan Kota
digelar pada 2024, bersamaan dengan pemilihan anggota
DPR, DPRD, DPD, dan Presiden. [qnt]