WahanaNews.co, Jakarta - Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) terlibat debat panas dengan pihak Polda Metro Jaya (PMJ) selama sekitar sembilan jam lantaran tidak diberi akses untuk mendampingi peserta aksi demonstrasi tolak pengesahan RUU Pilkada yang ditangkap.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang tergabung dalam TAUD, Fadhil Alfathan, mengatakan pihaknya tiba di Kantor PMJ pada Kamis (22/8) pukul 20.00 WIB setelah mendapat informasi simpang siur mengenai akan dibawanya massa aksi dari lokasi demonstrasi di Gedung DPR ke Kantor PMJ.
Baca Juga:
Aksi Arogansi di SCBD: Polda Metro Jaya Minta Maaf ke Lachlan Gibson, Siap Evaluasi Total
"Ternyata betul pukul 20.00 ke atas secara berangsur-angsur ada massa aksi yang diserahkan dari lokasi aksi di DPR RI ke Polda Metro Jaya. Pada saat itu tentu yang kami lakukan adalah ingin mengakses para peserta aksi yang diproses hukum karena itu adalah kewajiban kami sebagai pendamping hukum, tim advokat serta pemberi bantuan hukum," ujar Fadhil dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Jakarta, Jumat (23/8).
Fadhil menjelaskan bantuan hukum juga merupakan hak yang dimiliki seseorang yang berhadapan dengan hukum. Tim advokasi, terang Fadhil, mendapat pelecehan dari pihak PMJ.
"Pihak Polda Metro Jaya langsung melakukan tindakan-tindakan yang bagi kami adalah pelecehan terhadap muruah profesi, yang bagi kami adalah tindakan yang menghalang-halangi kerja dan profesionalitas kami sebagai advokat dan pemberi bantuan hukum," imbuhnya.
Baca Juga:
3 Buronan Kasus Judi Online Komdigi Ditangkap Polda Metro Jaya
Fadhil mengatakan tim advokasi diadang, dihalang-halangi, diteriaki dan diberikan argumentasi yang tidak logis.
Argumentasi pertama yang diberikan oleh pihak Ditreskrimum PMJ adalah tim advokasi tidak memiliki kedudukan hukum untuk mendampingi para massa aksi yang dibawa ke PMJ karena belum meneken surat kuasa.
Kemudian alasan kedua adalah belum ada perintah atasan.
"Dua alasan ini yang sering kami dapatkan bukan hanya pada pendampingan beberapa waktu lalu tapi sejak beberapa tahun lalu," kata dia.
Dalam debat tersebut, Fadhil menegaskan tim advokasi mempunyai kedudukan hukum. Karena hal itu tidak hanya dilihat dengan surat kuasa tertulis melainkan surat kuasa lisan sebagai hubungan keperdataan. Menurut Fadhil, hal itu sudah memiliki kekuatan hukum.
Selanjutnya, ia mengkritik keras alasan belum ada arahan atau perintah dari atasan. Fadhil menjelaskan alasan tersebut tidak masuk akal karena proses penegakan hukum sudah berjalan dan advokat memiliki kewajiban memberikan pendampingan.
"Jadi, ada sekitar lima kali perdebatan sangat panas antara tim advokasi dan pihak PMJ ketika kita ingin mengakses korban atau massa aksi untuk memberikan bantuan hukum," ucap dia.
Fadhil mengatakan proses penangkapan yang dilakukan polisi kepada massa aksi penolak RUU Pilkada telah dilakukan secara sewenang-wenang. Kata dia, tidak ada administrasi penyidikan seperti surat penangkapan dalam tindakan yang dilakukan polisi.
"Tidak ada surat dalam bentuk apa pun yang membuktikan bahwa proses yang dilakukan adalah penangkapan. Yang kerap kali dijadikan argumentasi adalah ingin mengamankan peserta atau massa aksi dari tindakan-tindakan atau potensi-potensi kericuhan dalam aksi demonstrasi," tutur Fadhil.
Tim advokasi, lanjut Fadhil, pada akhirnya baru bisa memberikan pendampingan pada pukul 05.00 WIB, Jumat (23/8). Setidaknya ada 39 peserta aksi di PMJ yang berhasil diidentifikasi dan bisa diberikan pendampingan hukum. Mereka belum dilepas atau dibebaskan hingga siang ini.
Gelombang aksi demonstrasi terjadi di sejumlah daerah termasuk Jakarta pada Kamis (22/8) kemarin. Aksi turun ke jalan tersebut merupakan wujud protes publik atas tindakan DPR dan Pemerintah yang hendak mengesahkan RUU Pilkada, diduga untuk memuluskan jalan putra Presiden Jokowi yaitu Kaesang Pangarep mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Pilkada 2024.
Penanganan atas aksi tersebut menuai kritik karena polisi disebut menggunakan kekuatan berlebih dan bertindak brutal.
[Redaktur: Alpredo Gultom]