WAHANANEWS.CO, Jakarta - Penahanan selebgram kontroversial Arnold Putra (AP) di Myanmar berbuntut sorotan tajam.
Vonis 7 tahun penjara yang dijatuhkan junta militer terhadap WNI tersebut membuat publik bertanya-tanya, sampai sejauh mana negara bisa melindungi warganya yang tersangkut kasus di luar negeri, terutama di negara yang tidak menjalankan sistem hukum demokratis seperti Myanmar.
Baca Juga:
Riza Chalid Jadi Tersangka Korupsi Minyak Pertamina, Kini Buron dan Diduga di Singapura
Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Sjamsoeddin, menegaskan bahwa operasi militer bukanlah solusi dalam kasus ini.
“Itu tidak bisa dilakukan dengan cara OMSP, operasi militer selain perang. Bukan itu langkah yang kita lakukan,” kata Sjafrie pada Rabu (9/7/ 2025).
Menurutnya, pemerintah Indonesia mengedepankan jalur diplomasi pertahanan, bukan pendekatan militer.
Baca Juga:
Pengadilan Belanda Minta Hentikan Ekspor Suku Cadang Jet F-35 ke Israel
"Karena yang kita hadapi pemerintah yang sedang melaksanakan suatu rezim junta. Sehingga birokrasi militer yang berlaku itu tidak sama seperti yang kita lakukan," jelasnya.
Menhan Sjafrie menyebut telah mengupayakan komunikasi melalui Menteri Luar Negeri Sugiono.
“Saya sudah mencoba berhubungan dengan Menteri Pertahanan Myanmar melalui Menlu kita, karena mereka mengisyaratkan ada ketentuan itu antara MOFA dengan MOFA, kemudian baru kepada Menteri Pertahanan,” imbuhnya.
Arnold Putra saat ini menjalani masa hukuman di Insein Prison, Yangon.
Ia divonis atas tuduhan memasuki Myanmar secara ilegal dan berhubungan dengan kelompok bersenjata yang dikategorikan sebagai organisasi terlarang oleh otoritas setempat.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, menyatakan bahwa AP didakwa melanggar tiga peraturan utama: Undang-Undang Anti-Terorisme, UU Keimigrasian 1947, dan pasal 17(2) dari Unlawful Associations Act.
Sejak penangkapannya pada 20 Desember 2024, KBRI Yangon sudah memberikan pendampingan kekonsuleran, bantuan hukum, dan memfasilitasi komunikasi AP dengan keluarganya.
Bahkan setelah vonis inkracht, Kemlu RI juga membantu keluarga AP mengajukan permohonan pengampunan kepada otoritas Myanmar.
Judha menegaskan, “Kemenlu dan KBRI Yangon akan terus memonitor kondisi AP selama menjalani hukuman penjara. Baru saja orang tua AP menjenguk anaknya di penjara.”
Diketahui, kasus ini pertama kali mencuat ke ruang publik setelah anggota Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja menyinggungnya dalam rapat kerja dengan Kemlu pada 30 Juni 2025.
Ia meminta pemerintah mengambil langkah maksimal, mulai dari permohonan amnesti hingga kemungkinan deportasi.
Kontroversi bertambah saat Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengusulkan opsi Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagai jalan terakhir.
Usulan ini muncul setelah revisi UU TNI 2025 yang memperluas mandat militer Indonesia untuk melindungi WNI di luar negeri, termasuk dalam wilayah konflik.
Namun, pandangan ini langsung dibantah Menhan Sjafrie, yang menilai pendekatan semacam itu tidak sesuai konteks.
Menurutnya, menghadapi negara junta tidak bisa dilakukan dengan cara militer, melainkan tetap harus dalam koridor diplomatik.
Sebelum ditangkap di Myanmar, Arnold Putra diketahui berada di Filipina pada April 2024. Ia mengunggah foto bersama pasukan bersenjata MILF (Moro Islamic Liberation Front), kelompok yang memiliki sejarah panjang dalam konflik bersenjata di Mindanao.
Ia bahkan mengklaim bertemu dengan kepala perancang seragam militer mereka.
Dari sana, ia menuju Myanmar dan ditangkap pada 20 Desember 2024. Ia diduga memasuki negara itu tanpa izin resmi dan melakukan interaksi dengan kelompok bersenjata lokal.
Kini, dengan kondisi Myanmar yang masih dilanda kekacauan politik pasca-kudeta militer 2021, kasus ini menjadi ujian serius bagi diplomasi Indonesia.
Pemerintah dituntut untuk menunjukkan ketegasan, tanpa melanggar norma-norma diplomatik internasional.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]