WAHANANEWS.CO, Jakarta - Terkait kasus dugaan korupsi tata kelola komoditas emas Antam seberat 109 ton periode 2010-2022, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh lima mantan pejabat PT Antam Tbk.
Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika menyatakan surat dakwaan penuntut umum terhadap kasus tersebut telah memenuhi ketentuan dan keberatan yang diajukan telah memasuki pokok perkara.
Baca Juga:
Jejak Pelarian Buron e-KTP Paulus Tannos, Terdeteksi di Thailand Ditangkap di Singapura
"Memerintahkan kepada penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara ini berdasarkan surat dakwaan tersebut," kata Hakim Ketua dalam sidang putusan sela majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (24/1).
Adapun kelima mantan pejabat Antam dimaksud, yakni Vice President (VP) Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Antam periode 2008-2011 Tutik Kustiningsih; VP UBPP LM Antam periode 2011-2013 Herman; Senior Executive VP UBPP LM Antam 2013-2017 Dody Martimbang; General Manager (GM) UBPP LM Antam periode 2017-2019 Abdul Hadi Aviciena; serta GM UBPP LM Antam periode 2019-2020 Muhammad Abi Anwar.
Hakim Ketua menilai setelah majelis hakim membaca dan meneliti surat dakwaan dalam perkara tersebut, tidak ditemukan adanya kekeliruan, baik mengenai orang yang keliru (error in persona) maupun mengenai bentuk dan susunan surat dakwaan yang salah atau keliru.
Baca Juga:
Terkait Kasus Korupsi Anggaran Disbud, Kejati Periksa Wali Kota Jakbar
Dengan demikian, kata Hakim Ketua, penuntut umum dalam surat dakwanya telah menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan dan telah mencantumkan tempat dan waktu tindak pidana dilakukan.
"Surat dakwaan penuntut umum dalam perkara ini telah memenuhi syarat formal maupun materiil, sehingga oleh karenanya keberatan penasihat hukum terdakwa harus dinyatakan tidak dapat diterima," ucap Hakim Ketua.
Sementara mengenai keberatan lainnya di luar surat dakwaan, Hakim Ketua berpendapat materi eksepsi telah mengemukakan adanya fakta hukum serta menarik suatu kesimpulan yang sudah masuk ke dalam materi pokok perkara. Dengan demikian, kebenarannya harus dibuktikan terlebih dahulu pada persidangan.
Atas dasar itu keberatan para terdakwa dinilai tidak beralasan menurut hukum dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dalam kasus tersebut, sejumlah enam orang mantan pejabat Antam didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp3,31 triliun.
Para terdakwa disebut melakukan kerja sama emas cucian dan lebur cap emas dengan pihak ketiga (perorangan, toko emas, ataupun perusahaan) non-kontrak karya sepanjang periode 2010-2022.
Kendati demikian, kerja sama yang dilakukan diduga tidak disertai kajian bisnis intelijen dan kajian informasi potensi peluang secara akurat, tidak dilakukan kajian legal dan complience, tidak dilakukan kajian risiko, serta tidak ada persetujuan dari Dewan Direksi.
Enam orang mantan pejabat Antam tersebut meliputi Vice President (VP) Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Antam periode 2008-2011 Tutik Kustiningsih; VP UBPP LM Antam periode 2011-2013 Herman; Senior Executive VP UBPP LM Antam 2013-2017 Dody Martimbang.
Kemudian, General Manager (GM) UBPP LM Antam periode 2017-2019 Abdul Hadi Aviciena; GM UBPP LM Antam periode 2019-2020 Muhammad Abi Anwar; GM UBPP LM Antam periode 2021-2022 Iwan Dahlan. Namun, Iwan tak mengajukan nota keberatan atas dakwaan yang diberikan.
Atas perbuatannya, enam orang terdakwa diduga melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke- 1 KUHP.
Perbuatan enam orang mantan pejabat Antam tersebut dilakukan bersama-sama tujuh orang terdakwa pihak swasta selaku pelanggan jasa pemurnian dan jasa peleburan emas yang disidangkan secara terpisah.
Tujuh orang terdakwa dimaksud, yakni Lindawati Efendi, Suryadi Lukmantara, Suryadi Jonathan, James Tamponawas, Ho Kioen Tjay, Djudju Tanuwidjaja, dan Gluria Asih Rahayu.
[Redaktur: Alpredo Gultom]