Menurutnya, kendala elektabilitas yang tidak bergerak bagi Anies dan ketidakgerakan Nasdem dalam jangka panjang ini akan menjadi "ujian berat" bagi partai-partai lain yang mendukung Anies.
Selain terancam tidak akan mendapatkan efek ekor jas (coat tail effect) dari pencapresan Anies, PKS dan Demokrat kini juga tampak mulai gusar setelah merasakan koalisinya seolah tidak ada kemajuan, tidak ada kesetaraan dalam pengambilan keputusan di internal koalisi, dan tidak ada keseriusan untuk bergerak bersama.
Baca Juga:
Elektabilitas Prabowo-Gibran 51,8%, IPS: Pilpres Berpotensi Satu Putaran
Karena itu, kata Khoirul Umam, munculnya ide penggabungan Ganjar-Anies sebagai pasangan capres-cawapres belakangan ini, dipandang sebagai bagian dari "strategi awal pembubaran" Koalisi Perubahan, agar salah satu dari partai yang merasa tidak nyaman itu bisa segera keluar dari koalisi.
"Jika ini terjadi, maka deadlock Koalisi Perubahan sebenarnya bukan semata-mata akibat benturan ego elite partai-partai, tetapi juga akibat dari cawe-cawe tangan kekuasaan yang 'mengunci' tangan dan kaki salah satu partai pengusung Anies, sehingga gamang dan tidak siap menghadapi risiko besar pencapresan Anies ke depan," ujarnya.
Lebih lanjut, Khoirul Umam bilang, Jika Koalisi Perubahan benar-benar masih ingin tampil kompetitif, seharusnya Anies bisa lebih agresif dan berani memecah kebekuan di dalam koalisinya.
Baca Juga:
Survei Indikator: Prabowo-Gibran Mendominasi Semua Wilayah, Kecuali Jateng-DIY
Sebab, pascabergabungnya Golkar dan PAN ke kubu Prabowo, konfigurasi parpol pembentuk poros koalisi saat ini sudah fase final. Tidak ada lagi yang perlu ditunggu.
Jika Anies tetap terdiam, menurut Khoirul Umam, Anies tidak sadar dirinya hampir kehilangan momentum.
Anies seharusnya juga paham bahwa success story-nya di Pilkada Jakarta 2017, di mana elektabilitasnya sempat tercecer di awal kontestasi, tidak bisa disamakan dan diterapkan kembali dalam kontestasi Pilpres Indonesia.