WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kepergian Marsekal Pertama (Marsma) Fajar Adriyanto dalam kecelakaan pesawat latih TNI AU di Ciampea, Kabupaten Bogor, pada Sabtu (2/8/2025), membawa duka mendalam di lingkungan TNI Angkatan Udara dan dunia pertahanan Indonesia.
Ia dikenal bukan hanya sebagai perwira tinggi yang berdedikasi, tetapi juga pernah menjadi tokoh kunci dalam insiden penyergapan lima jet tempur F/A-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) di langit Bawean dua dekade lalu.
Baca Juga:
Malfungsi di Langit Iran, Jet Tempur Israel Hampir Mendarat Darurat
Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma I Nyoman Suadnyana menyebut bahwa Marsma Fajar adalah sosok penting dalam sejarah penerbangan militer Indonesia, termasuk saat terlibat dalam peristiwa intersepsi terhadap pesawat tempur AS tahun 2003.
Peristiwa Bawean terjadi pada Kamis (3/7/2003) ketika Military Coordination Civil (MCC) Bandara Ngurah Rai, Bali, mendeteksi keberadaan pesawat asing yang muncul mendadak di wilayah udara barat laut Pulau Bawean pukul 11.38 waktu setempat.
Laporan tersebut segera diteruskan ke Pos Sektor II dan dipantau Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional (Popunas), yang awalnya menduga lima pesawat tersebut adalah F-5 RSAF dari Singapura.
Baca Juga:
AS Ogah Jual Jet Tempur Siluman F-35 ke Negara Muslim Termasuk Indonesia, Ini Alasannya
Namun setelah diamati selama satu jam, gerakan pesawat-pesawat itu dinilai mencurigakan karena tidak melakukan kontak dengan Air Traffic Controller (ATC) di Cengkareng maupun Bali.
Popunas kemudian memutuskan mengirimkan dua pesawat F-16 dari Lanud Iswahyudi, Magetan, Jawa Timur, untuk melakukan identifikasi udara terhadap sasaran yang tidak dikenal tersebut.
Marsma Fajar saat itu mengudara sebagai pilot Falcon 1 TS-1603 bersama Kapten Ian, sementara Falcon 2 TS-1602 dikendalikan oleh Kapten Tonny dan Kapten Satriyo.
Pukul 17.25 WIB, Falcon 1 terlibat dalam manuver udara jarak dekat dengan dua pesawat F/A-18 Hornet yang sempat mengambil posisi menyerang sehingga menempatkan Falcon 1 dalam ancaman langsung.
Falcon 2 yang berada dalam posisi pendukung segera melakukan rocking the wing, sebuah sinyal penerbangan damai, sementara Falcon 1 menjalin kontak suara di frekuensi UHF 243.0 dengan jet tempur AS.
Dari komunikasi tersebut diketahui bahwa mereka merupakan bagian dari satuan tempur US Navy yang beroperasi bersama beberapa kapal perang di sekitar perairan Indonesia.
Para penerbang AS mengklaim telah mengantongi izin melintas, sementara Falcon 1 menjelaskan bahwa mereka hanya sedang berpatroli dan melakukan identifikasi.
Setelah itu, pesawat-pesawat F-18 tersebut menjauh dan tidak lagi menampilkan sikap agresif terhadap pesawat TNI AU.
Kepala Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) saat itu, Marsekal Muda Wresniwiro, menyatakan bahwa kelima pesawat F-18 Hornet tidak pernah menjalin kontak komunikasi resmi saat melintas di wilayah udara Indonesia.
Pesawat-pesawat tempur AS itu lepas landas dari kapal induk yang tengah berlayar di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bersama sejumlah kapal perang.
Pemerintah Indonesia akhirnya melayangkan protes keras kepada Amerika Serikat melalui Kementerian Kehakiman dan HAM karena menganggap manuver udara itu melanggar kedaulatan nasional.
“Kita ini tidak selemah yang mereka duga,” tegas Menteri Kehakiman dan HAM saat itu, Yusril Ihza Mahendra, dalam konferensi pers di Jakarta, seraya menambahkan bahwa Indonesia tidak ingin hubungan memburuk tetapi juga tak mau kedaulatannya diabaikan.
Kini, Marsma Fajar Adriyanto telah gugur dalam tugas di tanah air setelah pesawat latih yang ia tumpangi jatuh saat menjalani latihan rutin di wilayah Bogor.
Satu penumpang lainnya dilaporkan masih menjalani perawatan intensif, sementara Fajar dikenang sebagai patriot langit Indonesia yang telah menunjukkan keberanian luar biasa dalam menjaga wilayah udara bangsa.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]