Oleh BUDI DARMA
Baca Juga:
Pengadilan China Vonis Mati Pejabat Korupsi Rp2,4 Triliun
TENGOKLAH peristiwa ini: seorang laki-laki --panggil:
Bejo-- Bejo, jatuh cinta kepada seorang perempuan, Pawestri.
Karena jatuh
cinta, Bejo berhasrat mendekati Pawestri.
Baca Juga:
Dibekuk Intel TNI, Pak Tua Penghuni Gubuk Ternyata Koruptor Kakap Rp 1,3 Triliun
Dalam hati
berjanjilah Bejo kepada dirinya, "Besok sore saya akan ke rumah Pawestri, lalu
dia akan saya ajak nonton film."
Waktu pun
berjalan dan tibalah saatnya bagi Bejo memenuhi janji dalam hatinya.
Ternyata Bejo
punya alasan menunda rencana kunjungannya ke rumah Pawestri.
Alasannya,
saat akan berangkat ke rumah Pawestri, tiba-tiba perutnya sakit.
Janji ditunda
sampai hari berikutnya.
Pada hari
berikutnya, ketika tiba saatnya dia harus ke rumah Pawestri, tiba-tiba
kepalanya pusing.
Janji kepada
dirinya pun ditunda lagi.
Keesokan
hari, ketika dia akan berangkat ke rumah Pawestri, tiba-tiba dia sadar bahwa
dia mempunyai banyak tugas yang harus diselesaikan segera.
Janji
mengunjungi Pawestri pun ditunda lagi.
Penundaan-penundaan
semacam ini, inilah yang dinamakan inersia.
Selepas
Perang Dunia I, inersia banyak melanda orang-orang kaya Amerika dan Eropa.
Perang Dunia
I telah merusak banyak tatanan masyarakat dan, akibatnya, masyarakat menjadi
"lumpuh".
Namun,
"kelumpuhan" ini relatif tak berlangsung lama.
Tak lama
setelah Perang Dunia I usai, industri tumbuh dengan ganas.
Lahirlah
banyak kelas orang kaya baru (OKB).
Orang yang
sebelum Perang Dunia I sudah kaya bertambah kaya.
Kendati kaya,
mau tak mau secara tak sadar mereka tak bisa membebaskan diri dari trauma
Perang Dunia I.
Akibatnya,
mereka menjadi, menurut istilah TS Eliot, the hollow men.
Mereka adalah
orang-orang hebat, hidup mereka serba gemerlap, tetapi pada hakikatnya mereka
hanya orang-orang yang kosong, tanpa pegangan spiritual.
Karena tak
punya pegangan spiritual, mereka cenderung berfoya-foya dan berfoya-foya demi
kepentingan berfoya-foya itu sendiri.
Kita dapat
menduga bahwa para tokoh politik kita, khususnya yang kelas berat, bukanlah
orang-orang yang miskin harta.
Mereka bukan
hanya sekadar hidup berkecukupan, melainkan lebih dari itu.
Dari mana
mereka memperoleh harta, kita tak tahu pasti, tetapi kira-kira karena mereka
punya kesempatan mencari harta, baik halal maupun yang kehalalannya diragukan.
Ini pulalah
yang terjadi kepada orang-orang kaya, khususnya orang-orang kaya baru selepas
Perang Dunia I.
Karena itu,
waktu itu ada istilah bootlegging.
Makna harfiah bootlegging adalah menyembunyikan barang, khususnya barang tak halal, ke dalam sepatu boot.
Dengan
demikian, ketika berjalan, termasuk waktu dia melewati batas negara, para
petugas tak menaruh curiga.
Karena itu, bootlegging identik dengan penyelundupan dan tindakan tak halal lain, misalnya
menerima suap dan korupsi.
Awalnya, bootlegging hanyalah penyelundupan kecil-kecilan, tetapi dalam perkembangannya bisa
juga berarti penyelundupan besar-besaran atau juga perbuatan tak halal yang
melanggar batas kewajaran.
Sangat Mahir
Para bootlegger sangat mahir dalam melakukan penyelundupan dan tindakan tak halal.
Dalam prinsip
hidup mereka, tak ada kata inersia dalam mengeruk harta.
Namun, dalam
kasus yang sebetulnya merupakan kewajiban moral mereka untuk menyelesaikan
kasus itu dengan cepat dan bijaksana, mereka adalah penderita inersia kelas
ulung.
Mereka
cenderung menunda-nunda penyelesaian cepat dan bijaksana yang merupakan
tanggung jawab moral mereka.
Mungkin ada
bedanya antara inersia orang-orang culun dan para politisi kelas berat.
Orang culun
menderita inersia karena memang dia hanya mampu bermimpi tak mampu bertindak,
sedangkan inersia politikus kelas berat mungkin dilandasi strategi dan taktik
serba canggih.
Menunda untuk
kepentingan politik, menunda untuk keuntungan mereka.
Apakah
kepentingan mereka berkaitan dengan kepentingan rakyat tergantung tiap
politikus kelas berat itu.
Istilah the hollow men bagi orang culun
mungkin terbatas kekosongan spiritual dan, bagi politikus kelas berat, mungkin
istilah ini identik pula dengan tunamoral. (Budi Darma, Sastrawan, Guru Besar
Emeritus Unesa)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul Budi Darma, "Inersia Politikus". Klik
untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/21/budi-darma-inersia-politikus/.
Catatan:
Artikel ini pernah diterbitkan harian Kompas edisi 1 Desember 2015. Diterbitkan kembali di rubrik Opini Kompas.id untuk mengenang Prof Dr Budi Darma MA (84 tahun) yang
telah berpulang pada 21 Agustus 2021.