WahanaNews.co | Heru Hidayat mendapat vonis nihil lantaran sudah mendapat hukuman maksimal dalam perkara sebelumnya, yakni korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menjelaskan vonis pidana nihil yang dijatuhkan hakim pada kasus dugaan korupsi pengelolaan dana PT ASABRI (Persero) bukan berarti terdakwa tak terbukti bersalah.
Baca Juga:
Kasus Jiwasraya, Kejagung Sita Aset Tambang Heru Hidayat
"HH tetap dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi," kata Fickar, Rabu (19/1).
Namun demikian, putusan itu dapat diambil oleh hakim pengadilan karena Heru saat ini sudah berstatus sebagai terpidana seumur hidup dalam kasus sebelumnya. Pidana penjara seumur hidup merupakan hukuman maksimal yang dapat dijatuhkan kepada Heru dalam kasus korupsi yang menjeratnya.
Fickar menjelaskan, putusan tersebut pun saat ini telah berkekuatan hukum tetap alias inkrah. Sehingga, sistem hukum di Indonesia menilai bahwa hukuman lain telah terakomodasi dalam kasus sebelumnya.
Baca Juga:
Kasus Jiwasraya: Lahan Tambang, hingga Aset Pelabuhan Heru Hidayat Disita
"Tidak bisa lagi dijatuhi hukuman yang melebihi seumur hidup, kecuali dihukum mati. Tetapi karena juga seumur hidup, maka tidak perlu dijatuhkan lagi dan dianggap nihil," jelasnya.
Penerapan hukuman mati, kata dia, dapat diberikan kepada Heru apabila dalam kasus Jiwasraya ia didakwa dengan pasal-pasal yang memungkinkan pemberian hukuman mati. Sehingga, vonis seumur hidup yang diberikan bukan menjadi hukuman maksimal lagi.
"Demikian juga jika seseorang telah dihukum mati dan sudah berkekuatan hukum tetap, maka hukuman lain menjadi nihil karena sudah tertutup (terakomodasi) oleh hukuman maksimal itu," tambah dia.
Kendati demikian, seharusnya penanganan perkara korupsi itu lebih menekankan pada pemiskinan terdakwa.
Sehingga dalam putusannya hakim mengabulkan penyitaan dan pembangkrutan terhadap harta milik terdakwa yang akan menjadi terpidana saat sudah dieksekusi nanti.
Dalam perkara ini, hakim beranggapan bahwa putusan nihil itu dapat diambil lantaran ketiadaan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur ancaman pidana mati dalam surat dakwaan jaksa.
Hakim menjelaskan bahwa surat dakwaan merupakan landasan rujukan serta batasan dalam memeriksa dan memutuskan perkara pidana. Karena ada aturan tersebut, jaksa penuntut umum diminta tidak melampaui kewenangan.
Selain itu, hakim juga memerintahkan jaksa untuk mengembalikan sejumlah aset seperti kapal Liquefied Natural Gas (LNG) Aquarius kepada terdakwa Heru Hidayat lantaran tak terkait dengan korupsi di Asabri.
Kejagung pun menyatakan bakal mengajukan upaya perlawanan hukum berupa banding dalam menyikapi putusan hakim tersebut. Hal itu lantaran, tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa tak dikabulkan hakim.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis nihil terhadap terdakwa Heru Hidayat. Vonis ini dijatuhkan karena Heru sudah mendapat hukuman maksimal dalam kasus sebelumnya yakni korupsi di PT Asuransi Jiwasraya.
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera itu dinilai terbukti bersalah melakukan korupsi di PT ASABRI secara bersama-sama dengan sejumlah terdakwa lainnya yang merugikan keuangan negara mencapai Rp22,7 triliun.
Tak hanya itu, Heru juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp12,6 triliun. [bay]