WAHANANEWS.CO, Jakarta - Polemik lawatan istri Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UMKM), Agustina Hastarini, ke sejumlah negara Eropa memasuki babak baru.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) secara tegas meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak hanya memanggil Menteri UMKM Maman Abdurrahman, tetapi juga turut memeriksa sang istri yang terlibat dalam misi tersebut.
Baca Juga:
Ahmad Dhani Sindir Maia dan Mulan di Depan Publik, Netizen: Kebiasaan Merendahkan Perempuan
Permintaan itu menyusul viralnya surat Kementerian UMKM bertajuk “Kunjungan Istri Menteri UMKM Republik Indonesia” yang ditujukan kepada enam Kedutaan Besar RI dan satu Konsulat Jenderal. Surat bernomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025 bertanggal 30 Juni 2025 itu meminta dukungan dan pendampingan dari perwakilan diplomatik selama kunjungan Agustina ke Istanbul (Turki), Pomorie dan Sofia (Bulgaria), Brussels (Belgia), Paris (Prancis), Lucerne (Swiss), dan Milan (Italia).
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyatakan bahwa KPK harus turun tangan mendalami apakah dalam perjalanan tersebut terdapat pemberian fasilitas negara kepada istri pejabat, yang berpotensi masuk kategori gratifikasi.
“Ketika Pak Menterinya datang ke KPK, maka KPK berkewajiban mendalami dengan cara melakukan klarifikasi, terutama pada istri Pak Menteri ini,” kata Boyamin pada wartawan, Minggu (6/7/2025).
Baca Juga:
Ahli Imbau Tetap Terapkan Hidup Sehat di Tengah Lonjakan Covid-19
Boyamin menegaskan bahwa jika benar ada fasilitas negara seperti penginapan, transportasi, konsumsi, atau bentuk pelayanan lainnya yang diberikan kepada istri Menteri UMKM, maka seluruhnya harus dilaporkan ke KPK dalam waktu paling lambat 30 hari.
Jika tidak, itu bisa dikategorikan sebagai gratifikasi yang melanggar undang-undang.
“Misalnya ada jamuan, tiket pesawat, atau akomodasi lain, baik langsung kepada Bu Menteri atau diberikan sebagai dukungan teknis, maka itu semua wajib dilaporkan dan jika perlu dikembalikan ke kas negara,” lanjutnya.
Kehadiran sang istri dalam lawatan bertajuk "misi budaya" dinilai ganjil oleh sejumlah pihak karena tidak tercantum dalam agenda resmi kenegaraan.
Publik pun bertanya-tanya, apakah benar kegiatan itu merupakan bagian dari tugas negara, atau sekadar perjalanan pribadi yang dilabeli misi budaya untuk memanfaatkan sumber daya negara.
"Kalau ternyata bukan tugas negara, maka semestinya tidak boleh memanfaatkan fasilitas kedutaan. Ini prinsip dasar pengelolaan keuangan publik yang bersih dan akuntabel,” kata Boyamin lagi.
Boyamin juga menyebut, pemanggilan terhadap Agustina Hastarini tidak hanya penting untuk klarifikasi, tetapi juga memberikan ruang bagi KPK untuk memberi arahan agar seluruh potensi gratifikasi yang telah diterima bisa dikembalikan secara tertib dan legal.
“Bukan hanya sekadar pemanggilan investigatif, tapi juga bagian dari edukasi etik dan administratif. Jangan sampai terjadi penyalahgunaan fasilitas negara, sekecil apapun bentuknya,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyatakan siap menyerahkan dokumen dan memberi keterangan kepada KPK terkait surat tersebut.
Namun publik menilai hal ini tidak cukup bila tidak disertai pemanggilan langsung terhadap sosok yang terlibat dalam kegiatan, yakni Agustina Hastarini.
"Surat itu menyebut kunjungan pribadi yang mengatasnamakan institusi negara. Maka keterlibatan sang istri menjadi penting untuk diperiksa, bukan sekadar pembelaan dari sang suami," komentar pengamat kebijakan publik dari LIPI, Ahmad R. Fakhruddin, saat dimintai tanggapan terpisah.
Dari segi hukum, jika terbukti terdapat penggunaan anggaran negara atau fasilitas diplomatik yang tidak sesuai peruntukan, maka itu bisa dijerat melalui Pasal Gratifikasi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Kini publik menanti langkah KPK selanjutnya, apakah benar-benar akan menggali informasi lebih dalam atau sekadar menanggapi kasus ini sebagai kekeliruan administratif belaka.
Desakan agar proses ini ditangani secara transparan dan tidak diskriminatif semakin menguat di media sosial.
“Jangan ada yang merasa bisa berlindung di balik jabatan publik. Negara harus hadir menertibkan setiap potensi penyimpangan, apalagi yang menggunakan uang rakyat,” tutup Boyamin.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]