WahanaNews.co | Jaksa Agung ST Burhanuddin membangun program rumah restorative justice atau keadilan restoratif di beberapa Kejaksaan Negeri sejak Rabu (16/3) lalu. Program itu dinilai sebagai solusi permasalahan hukum di Tanah Air.
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (Kajati Kalsel) Mukri mengatakan, rumah restorative justice memudahkan koordinasi dalam penyelesaian perkara di luar peradilan.
Baca Juga:
Jaksa Tuntut Lepas Guru Supriyani dari Seluruh Dakwaan Kasus Kekerasan Anak
"Dari 13 daerah, saya minta tiap kabupaten dan kota minimal ada tiga rumah restorative justice untuk segera dibangun," kata Mukri, dikutip dari Antara, Senin (4/4).
Dia menyatakan, keberadaan rumah restorative justice sangatlah strategis dalam rangka untuk mendamaikan suatu perkara yang sifatnya ringan dalam artian tidak perlu dibawa ke pengadilan.
Sehingga, sepanjang masih bisa diselesaikan di luar pengadilan, maka jaksa setempat mendorong agar keadilan restoratif diterapkan.
Baca Juga:
Jessica Wongso Disebut Jaksa Manfaatkan Film Dokumenter Tarik Simpati Publik
Dia menegaskan, pada prinsipnya keadilan sejati adalah bisa diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Sementara proses hukum belum tentu bisa mendapatkan suatu keadilan.
Maka dari itu, hanya dengan jalan perdamaian tanpa proses hukum, keadilan sejati bisa diwujudkan setelah semua pihak bersepakat tanpa ada yang merasa dirugikan.
Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan.
Keadilan restoratif bisa diterapkan jaksa dengan menghentikan penuntutan jika perkara dinilai lebih layak diselesaikan di luar jalur peradilan, dengan berpedoman pada Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ada tiga syarat prinsip keadilan restoratif bisa ditempuh yaitu pelaku baru pertama kali melakukan pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun serta nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2.500.000.
Namun ada pengecualian jika kerugian melebihi Rp2.500.000, tapi ancaman tidak lebih dari 2 tahun, ancaman pidana lebih dari 5 tahun asal kerugian tidak melebihi Rp2.500.000 serta kepentingan korban terpenuhi dan ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun.
Adapun lima perkara yang tidak bisa dihentikan penuntutannya dalam penerapan keadilan restoratif, yaitu pertama tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan. Kedua, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimal. Ketiga, tindak pidana peredaran narkotika, lingkungan hidup dan korporasi.
Guru Besar Ahli Antropologi dan Sosiologi Hukum di Universitas Brawijaya, Prof. Nyoman Nurjaya mengatakan, pembentukan rumah restorative justice sebagai satu gagasan penggabungan atau elaborasi hukum yang hidup (living law) dengan hukum yang diberlakukan (positive law).
“Dimana pemecahan segala permasalahan hukum di masyarakat dapat dengan kearifan lokal (local genius) sebagai filterisasi perkara yang masuk ke pengadilan,” kata Nyoman dalam keterangannya, Senin (4/4).
Menurut dia, pandangan ini sesuai dengan cita-cita hukum Nasional yang berlandaskan hukum Pancasila yakni semangat musyawarah dan gotong royong dalam mewujudkan persatuan dan keadilan.
Dia menjelaskan, di beberapa negara maju, hukum seperti ini sudah lama dilaksanakan dalam rangka melibatkan korban dalam menyelesaikan masalah yang pada kenyataan yang terjadi, korban sering hanya sebatas saksi di persidangan tanpa mendapatkan hak-hak ganti rugi, rehabilitasi dan kompensasi dengan jalan damai.
"Sehingga saya memandang Rumah restorative justice ke depan harus ada regulasi yang memadai dan ada pendanaan secara berkala. Sehingga eksistensinya dapat terjaga, karena dalam implementasinya pasti melibatkan berbagai pihak membutuhkan operasional yang memadai baik sarana dan prasarana keterlibatan Pemerintah Daerah sangat diperlukan," jelas Nyoman.
Selanjutnya, kata dia, perlu dipikirkan ke depan pembentukan Rumah Restorative Justice ini tidak cukup dengan satu Kejaksaan Negeri memiliki satu Rumah Restorative Justice. Tetapi secara bertahap, mulai dari setiap kecamatan memiliki satu Rumah Restorative Justice. "Selanjutnya satu desa memiliki satu Rumah Restorative Justice," usul Nyoman.
Sehingga sesuai dengan semangat Rumah Restorative Justice mendekatkan nilai-nilai keadilan, musyawarah, persatuan di dalam masyarakat dan kemanfaatan hukum serta kepastian hukum untuk keharmonisan dan kedamaian dapat diwujudkan.
Dia menambahkan, rumah Restorative Justice sebagai ladang baru bagi akademisi untuk sarana penelitian dan edukasi tentang bagaimana keberadaan Rumah Restorative Justice dapat mengubah perilaku masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
"Namun yang paling terpenting dari semua itu adalah aparatur Kejaksaan menjaga konsistensi, integritas dan profesionalisme dalam pelaksanaan operasional Rumah Restorative Justice," tutup dia.
Armiadi bin Rusli kini bisa bernafas lega. Buruh harian lepas di Dinas Pariwisata Kota Sabang, ini tak jadi duduk di kursi persidangan. Hal itu setelah Kejari Sabang menghentikan penuntutan perkara pencurian mesin tempel perahu boat dilakukan Armiadi. Kasus itu disetop setelah Jaksa mengedepankan keadilan restoratif terkait perkara pencurian tersebut.
Ada beberapa pertimbangan Jaksa menghentikan penuntutan terhadap Armiadi. Pertama tersangka belum pernah melakukan tindak kejahatan. Pencurian dilakukan Armiadi juga dilakukan untuk biaya pengobatan ibunya. Pertimbangan lainnya kasus yang menjerat Armiadi merupakan perkara ringan dengan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun.
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sabang juga telah melakukan upaya mediasi antara tersangka dan korban. Akhirnya pihak korban bersedia berdamai dan memaafkan tersangka. Penuntutan perkara tersebut akhirnya dihentikan.
Upaya keadilan restoratif juga dipertimbangkan saat menangani perkara korupsi memiliki nilai kerugian relatif kecil atau di bawah Rp50 juta. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menilai perkara korupsi di bawah Rp50 juta adalah bentuk kerugian negara yang dilakukan secara legal.
Dia mencontohkan perkara korupsi yang terjadi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur dan daerah kepulauan. Menurut dia, proses pemeriksaan dan persidangan di daerah yang harus ditempuh melalui jalur darat, laut, dan udara sekaligus untuk menuju ibu kota provinsi memakan biaya operasional tinggi namun tak sesuai dengan kerugian negara hendak diselamatkan.
"Penanganan perkara korupsi berskala kecil tersebut juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan, bahkan terkadang cenderung tidak dapat diterima oleh masyarakat,” kata Burhanuddin saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik bertema “Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 juta Perlu dipenjara?” yang dipantau melalui zoom meeting di Jakarta, Selasa (8/3).
Dia menyebutkan, dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan keadilan restoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan untuk para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil.
"Setiap orang berhak mendapatkan keadilan hukum, sehingga keadilan hukum tidak dapat diberikan hanya untuk golongan tertentu saja. Hal ini tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas, jenis, dan berat ringannya suatu perkara. Dengan prinsip keadilan untuk semua dan hukum untuk manusia,” ujarnya.
Upaya Kejaksaan dengan mengedepankan keadilan restoratif dalam memutuskan suatu perkara diapreasi Komisi Kejaksaan (Komjak). Anggota Komjak Muhammad Ibnu Mazjah mengatakan, langkah ditempuh Kejaksaan ini tidak bertentangan dengan hukum. Melainkan menurut Ibnu seiringan dengan hukum secara konsepsional maupun teoritis.
"Dasarnya adalah kedudukan daripada Kejaksaan sebagai asas dominus litis artinya dia adalah sebagai pemilik perkara atau pengendali perkara," kata Ibnu saat dihubungi merdeka.com, Jumat (11/3).
Ibnu menjelaskan, Kejaksaan sebagai pemilik atau pengendara perkara memiliki kewenangan menentukan suatu kasus layak atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan. Kewenangan Jaksa itu sesuai Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Keputusan Kejaksaan mengutamakan keadilan restoratif dalam memutuskan suatu perkara juga dinilai Ibnu tak menjadi preseden buruk penegakan hukum di tanah. Dia meyakini tersangka yang sudah dihentikan perkaranya oleh Kejakaan bakal jera melakukan tindakan kejahatan.
Dalam mengedepankan keadilan restoratif pun sudah ditegaskan bahwa pelaku yang terlibat baru satu kali berperkara. Ibnu mengatakan, upaya keadilan restoratif juga juga merupakan ciri khas masyarakat Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Artinya segala sesuatu persoalan dicarikan solusi tidak serta berujung kepada proses pengadilan. Dengan catatan penerapan restorative justice dilakukan Kejaksaan itu terus dimonitor dari tingkat bawah hingga pimpinan agar mencegah transaksional.
"Justru dalam hal ini Jaksa berusaha menggali hukum yang hidup di masyarakat layak atau tidak nih ke pengadilan. Penegakan hukum yang dilakukan itu bisa lebih berkualitas bukan perkara yang sifatnya remeh temeh sehingga perkara di pengadilan juga tidak numpuk," kata dia. [rin]