WAHANANEWS.CO, Jakarta - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan kemungkinan hukuman berat, termasuk hukuman mati, bagi tersangka kasus pengoplosan Pertamax yang terjadi saat pandemi Covid-19.
"Kita akan melihat hasil penyelidikan. Jika ditemukan hal-hal yang memberatkan, hukumannya bisa lebih berat. Mengingat ini dilakukan dalam situasi darurat, bisa saja dijatuhi hukuman mati," ujar Burhanuddin dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Kamis (6/3/2025).
Baca Juga:
KPK Sita Uang Rp350 Miliar & 6 Juta Dolar AS Kasus Gartifikasi Eks Bupati Kutai
Potensi Hukuman Mati Sesuai UU Tipikor
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pelaku korupsi yang melakukan kejahatan dalam kondisi tertentu—termasuk saat bencana nasional—dapat dijatuhi hukuman mati.
Sebelumnya, beberapa kasus penyalahgunaan dana penanganan Covid-19 telah berujung pada hukuman maksimal.
Baca Juga:
Emosi Diminta Putuskan Hubungan, Seorang Bapak di Tangsel Ditusuk Mantan Pacar Anaknya
Kasus pengoplosan Pertamax yang sedang diselidiki diduga melibatkan unsur korupsi, dengan potensi kerugian besar bagi negara dan masyarakat.
Jaksa menegaskan bahwa kejahatan di tengah situasi darurat seperti pandemi bisa menjadi faktor pemberat dalam penegakan hukum.
Kerugian Negara Mencapai Rp 900 Triliun
Menurut Kejaksaan Agung, kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 193,7 triliun per tahun, yang berasal dari:
• Rp 35 triliun dari ekspor ilegal minyak mentah dalam negeri.
• Rp 2,7 triliun dari impor minyak mentah melalui broker.
• Rp 9 triliun dari impor BBM melalui broker.
• Rp 126 triliun dari kompensasi.
• Rp 21 triliun dari subsidi.
Jika skema ini berjalan selama lima tahun, total kerugian negara bisa mencapai Rp 900 triliun.
Kejaksaan Agung masih melakukan penyelidikan untuk menentukan apakah tersangka dapat dijerat dengan pasal khusus terkait pandemi.
Jika terbukti memperberat tindak pidana, sanksi maksimal, termasuk hukuman mati, dapat dipertimbangkan.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]