WahanaNews.co, Jakarta - Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menyatakan bahwa kasus dugaan gratifikasi yang melibatkan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej telah mencapai tahap penyidikan. Kasus ini melibatkan empat tersangka.
Alex mengungkapkan bahwa surat perintah penyidikan telah ditandatangani sekitar dua minggu yang lalu. Ia menjelaskan bahwa dari empat tersangka, tiga di antaranya merupakan penerima dan satu adalah pemberi.
Baca Juga:
Langgar Etik, Gaji Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron Dipotong Rp 22,5 Juta per Bulan
"Informasi penetapan tersangka Wamenkumham, ya, itu sudah ditandatangani sekitar dua minggu yang lalu, Pak Asep, sekitar dua minggu yang lalu, dengan empat orang tersangka, tiga penerima, dan satu pemberi. Begitulah. Semuanya sudah dijelaskan di majalah Tempo," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers pada Kamis (9/11/2023).
Melansir Detik, Eddy Hiariej menjadi salah satu yang ikut ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
KPK telah menaikkan penanganan laporan dugaan gratifikasi dengan terlapor Eddy Hiariej ke penyidikan. Eddy pun merespons hal tersebut.
Baca Juga:
19 Saksi Diperiksa, Polda Metro Jaya Selidiki Pertemuan Rahasia Wakil Ketua KPK dan Eko Darmanto
"Aduh!" kata Eddy sambil meletakkan kedua tangannya di depan dada setelah menjadi pembicara dalam seminar di STIK, Jakarta Selatan, Rabu (8/11).
Eddy enggan mengomentari lebih lanjut. Dia langsung masuk ke mobilnya.
Sebelumnya, Indonesia Police Watch (IPW) melaporkan Eddy Hiariej ke KPK soal dugaan gratifikasi senilai Rp 7 miliar. IPW mengatakan mendapat informasi laporan itu masuk ke tahap penyelidikan.
"Nah, ini kita sudah ajukan surat permintaan informasi, sudah diterima oleh KPK hari ini tanggal 5 Mei 2023. Sudah dijawab oleh KPK bahwasanya persoalan dumas (pengaduan masyarakat) yang diadukan oleh IPW yang diduga Pak Wamenkumham ini, sudah masuk taraf penyelidikan," kata pengacara Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso, Deolipa Yumara, di gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (5/5/2023).
Eddy Hiariej juga sudah pernah menjalani klarifikasi terkait aduan gratifikasi senilai Rp 7 miliar yang dilayangkan oleh IPW pada Maret lalu. Eddy saat itu menilai aduan dari IPW tendensius mengarah ke fitnah.
Terbaru, Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan penyelidikan terhadap laporan dugaan gratifikasi itu telah selesai. Ali mengatakan KPK telah melakukan gelar perkara kasus tersebut pada bulan lalu.
"Jadi terkait dengan pertanyaan teman-teman dimaksud perlu kami sampaikan saat ini semua proses penyelidikan oleh KPK itu sudah selesai dilakukan sebagai tindak lanjut dari laporan masyarakat yang diterima oleh KPK," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (6/11/2023).
"Tentu setiap proses naik ke penyidikan dilalui dengan proses ekspose dan gelar perkara di bulan yang lalu," sambungnya.
Namun dia belum menjelaskan siapa tersangka dalam kasus ini.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan KPK menggunakan pasal suap dan gratifikasi dalam mengusut dugaan korupsi yang menyeret Eddy Hiariej. Penggunaan pasal itu berbeda dengan laporan awal yang diterima KPK soal dugaan korupsi Eddy Hiariej.
"Dobel, ada pasal suap, ada pasal gratifikasinya," kata Asep di gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (6/11/2023).
Asep mengatakan penggunaan pasal suap itu memungkinkan adanya sosok tersangka di kasus Wamenkumham itu bisa lebih dari satu orang. Pasalnya, KPK juga akan menjerat pelaku yang berperan sebagai pemberi dan penerima suap.
"Kan gini kalau suap itu nggak mungkin sendiri. Ada pemberi dan penerima, paling tidak dua. Tapi di situ kan ada perantaranya dan lain-lain," katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej sebagai tersangka kasus dugaan suap pada Kamis (9/11/2023).
"Penetapan tersangka Wamenkumham, benar, itu sudah kami tandatangani sekitar dua minggu lalu," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (9/11/2023).
Dalam kasus ini, Indonesia Police Watch (IPW) melaporkan Eddy Hiariej ke KPK atas dugaan gratifikasi sebesar Rp7 miliar.
Profil Eddy Hiariej
Melansir Kompas.com, Eddy yang memiliki nama lengkap Edward Omar Sharif Hiariej merupakan Wamenkumham yang dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat reshuffle menteri pada 23 Desember 2020 untuk bergabung di Kabinet Indonesia Maju Periode 2020-2024.
Eddy Hiariej merupakan Professor atau Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di almamaternya, Universitas Gadjah Mada. Pendidikan sarjana hingga doktoralnya ia selesaikan di UGM.
Ia menempuh pendidikan sarjana atau S1 di Fakultas Hukum (FH) UGM pada 1993-1998. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan S2 atau magister di FH UGM pada 2002-2004.
Pendidikan doktoralnya berlangsung selama dua tahun pada 2007-2009 di FH UGM. Selanjutnya, Eddy diangkat menjadi Guru Besar di FH UGM pada 2010.
Laki-laki kelahiran Ambon, 10 April 1973 itu menjadi profesor dalam usia muda, yakni 37 tahun.
Sebelum menjabat sebagai Wamenkumham, Professor Eddy pernah menjadi Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum dan LLM Program UGM.
Ia juga pernah menjadi Asisten Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UGM pada 2002–2007.
Sejak tahun 1999, Eddy menjadi pengajar atau dosen di FH UGM.
Eddy sebelumnya menjadi sorotan saat berperan sebagai ahli dalam persidangan hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, di mana ia dipanggil oleh pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Kredibilitas Eddy sempat dipertanyakan oleh Bambang Widjojanto, yang menjabat sebagai Ketua Tim Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Bambang mempertanyakan jumlah buku dan jurnal internasional yang ditulis oleh Eddy terkait Pemilu.
Eddy Hiariej mengakui bahwa ia tidak pernah menulis buku khusus tentang Pemilu. Namun, sebagai seorang guru besar di bidang hukum, ia menekankan pentingnya memahami asas dan teori untuk menangani berbagai masalah hukum.
Eddy juga pernah diundang sebagai ahli dalam kasus kontroversial kopi sianida atau kematian Wayan Mirna Salihin. Selain itu, ia juga memberikan kritik tajam terhadap UU Cipta Kerja.
Menurut Eddy Hiariej, UU Cipta Kerja memiliki potensi untuk menjadi "macan kertas" karena tidak memiliki sanksi yang efektif. Selain itu, ia berpendapat bahwa UU Cipta Kerja tidak mematuhi prinsip titulus et lex rubrica et lex, yang berarti bahwa isi dari suatu pasal harus sesuai dengan judul babnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]