WAHANANEWS.CO, Jakarta - Nama Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak kembali mencuri sorotan publik setelah keberadaannya terekam dalam satu acara bersama seorang saksi kasus dugaan korupsi di lingkungan bank BUMN pada Selasa (7/10/2025) lalu.
Sejak dilantik sebagai pimpinan KPK pada Oktober 2022, sosok eks jaksa senior Kejaksaan Agung ini tak pernah jauh dari kontroversi dan beberapa pernyataannya bahkan memancing perdebatan publik secara luas.
Baca Juga:
Kasus Korupsi Pengadaan Mesin EDC, KPK Panggil Dirut BRI Insurance
Pada Agustus 2022, saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI, Johanis Tanak membuat pernyataan mengejutkan dengan menyebut operasi tangkap tangan sebagai tindakan yang “keliru” dilakukan lembaga antirasuah dan pernyataan itu langsung menimbulkan riak kritik dari berbagai pihak.
Dalam forum tersebut, ia menjelaskan pandangannya saat ditanya mengenai upaya pencegahan korupsi dalam skala besar dan sistemik dengan menyebut, "Meikarta itu investasi besar, tapi terhalang oleh satu tindakan, yakni OTT, yang namanya OTT operasi adalah kegiatan terencana, secara hukum arti tangkap tangan adalah tindak pidana yang terjadi dan ditangkap saat itu juga," kata dia.
Menurutnya, sebelum melakukan OTT idealnya KPK memanggil terlebih dahulu pihak yang diduga terlibat karena proses tangkap, penyidikan dan penahanan disebutnya sebagai bentuk pengeluaran besar yang justru bisa memboroskan uang negara dan ia menambahkan, "Dalam konteks korupsi, kita ingin jangan sampai uang negara dihambur-hamburkan".
Baca Juga:
Dana Hibah Jatim Disulap Jadi Bancakan, 21 Orang Resmi Jadi Tersangka KPK
Saat melayani pertanyaan lanjutan dari sejumlah wartawan usai fit and proper test ia menegaskan kembali bahwa istilah OTT dianggap tidak tepat karena menurut ilmu hukum operasi bersifat direncanakan sedangkan tangkap tangan adalah tindakan spontan ketika kejahatan terjadi, "Jadi bukan direncanakan ditangkap sehingga menurut saya secara ilmu hukum itu keliru penerapan OTT, idealnya, kita harusnya pahami," ujarnya.
Kontroversi kedua muncul pada 2023 ketika Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi etik terhadapnya akibat komunikasi yang dilakukan dengan Idris Froyoto Sihite yang saat itu merupakan Kabiro Hukum Kementerian ESDM sekaligus saksi dalam kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja di kementerian tersebut.
Johanis mengaku tidak mengetahui bahwa Idris Sihite telah menjabat sebagai Pelaksana Harian Dirjen Minerba saat komunikasi itu terjadi dan ia bersumpah bahwa yang ia pahami Idris hanya berposisi sebagai pejabat biro hukum biasa di Kementerian ESDM.