WahanaNews.co | Sembilan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) hadir memenuhi undangan Presiden Joko Widododi Istana Bogor pada 13
Agustus lalu.
Hanya Wakil Ketua MPR
dari PKS, Hidayat Nur Wahid, yang tidak ikut.
Baca Juga:
MPR Cabut Nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998
Selama kurang lebih dua
jam, Jokowi yang didampingi MenteriSekretaris Negara,Pratikno, dan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, berdiskusi banyak hal dengan para
tamunya.
Termasuk tentang
pencantuman Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) lewat amendemen UUD 1945.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang menyampaikan kepada Presiden mengenai hal itu.
Baca Juga:
Aktivis Hukum: Amandemen UUD Bukan Sesuatu yang Haram
Dia mengatakan bahwa
salah satu rekomendasi MPR periode 2014-2019 adalah usulan melakukan amendemen
UUD 1945 untuk memperkuat kewenangan MPR menetapkan PPHN.
Lewat keterangan pers,
Bamsoet menjamin amendemen konstitusi hanya terbatas pada pencantuman
kewenangan MPR menetapkan PPHN.
Namun, menurutnya,
Jokowi cemas ada misi terselubung di balik
amendemen UUD 1945.
Misalnya, soal kemungkinan partai politik di MPR/DPR mengubah
UUD 1945 agar Presiden
bisa menjabat tiga periode atau masa jabatan jadi lebih dari lima tahun.
Jokowi tidak mau dan
khawatir itu terjadi.
"Beliau
mempertanyakan apakah amendemen UUD 1945 tidak berpotensi membuka kotak pandora
sehingga melebar, termasuk mendorong perubahan periodisasi Presiden dan Wapres menjadi tiga periode. Saya tegaskan kepada
Presiden, sangat rigid dan kecil kemungkinan menjadi
melebar," kata Bamsoet,
lewat keterangan pers.
Giliran Wakil Ketua MPR
dari PKB, Jazilul Fawaid, yang bicara.
Salah satu pimpinan MPR
bercerita, Jazilul meminta Jokowi menanggapi isu yang
berkembang terkait perpanjangan masa jabatan Presiden sampai 2027.
Saat dikonfirmasi oleh wartawan, Jazilul Fawaid hanya menjawab, "Kalau
Covid-19 masih terus berdampak sampai 2024, ada penutupan masjid, tempat ibadah
dan pasar. Kalau ini terus terjadi sampai 2024, tentu Tempat Pemungutan Suara
(TPS) otomatis juga ditutup. Saya pikir ada problem ketatanegaraan yang harus
diselesaikan."
Wakil Ketua MPR dari
Partai Demokrat,
Syarief Hasan,
mendapat giliran berikutnya.
Syarief menyampaikan
sikap penolakan fraksinya atas usulan amendemen UUD 1945 mengenai pencantuman
kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN.
Syarief mengatakan, Demokrat pun menolak masa jabatan Presiden diperpanjang.
Secara tegas, dia
mengatakan, amendemen UUD 1945 belum perlu dilakukan.
Syarief lantas
mempertanyakan sikap Jokowi ihwal rencana amendemen UUD 1945.
Dulu, kata dia, Jokowi
pernah lantang menolak amendemen,
karena bisa melebar ke mana-mana.
Tak hanya soal PPHN.
"Apakah sikap Pak
Presiden sekarang masih sama seperti dulu, menolak?" kata Syarief kepada wartawan.
Seorang pimpinan MPR
yang hadir, namun enggan disebutkan identitasnya, sempat menyatakan dukungannya
agar amendemen UUD 1945 dilakukan dan turut mengubah masa jabatan Presiden agar bisa sampai 2027.
Alasannya, partainya tak
punya dana untuk mengikut Pemilu
2024 mendatang.
Salah satu pimpinan MPR
dari PPP, Arsul Sani,
membeberkan responsJokowi soal usulan amendemen UUD 1945 dan perpanjangan
masa jabatan saat pertemuan di Istana.
Arsul menyebut, Jokowi ingin MPR mempersiapkan dengan matang jika
benar-benar ingin melakukan amendemen konstitusi.
Terutama bagaimana
menanggapi persepsi publik agar Jokowi tidak dituding yang bukan-bukan.
"Presiden
menyampaikan soal amendemen itu adalah domain MPR dan yang menentukan adalah
ketum-ketum partai politik," kata Arsul.
"Soal amendemen ini
pasti ramai, isunya macam-macam, maka Presiden minta, kalau itu mau dilaksanakan, maka MPR harus
mempersiapkan dengan matang. Presiden khawatir bahwa nanti beliau yang akan
dituduh mendorong amendemen itu," sambungnya.
Setelah pertemuan dengan
pimpinan MPR selesai, Presiden melanjutkan pembicaraan empat mata dengan Ketua
MPR, Bambang Soesatyo.
Bamsoet tidak menjawab
saat dimintai konfirmasi soal ini.
Wakil Ketua MPR, Arsul Sani,
mengatakan, Bamsoet masih berada di Istana saat pimpinan lainnya bubar.
"Saya tidak
mengetahui persis, tapi memang waktu saya pulang, Ketua MPR belum pulang dari Istana," kata
Arsul.
Selang tiga hari
kemudian, atau pada 16 Agustus, Presiden Jokowi dan Ketua MPR Bambang Soesatyo
pidato dalam Sidang Tahunan MPR jelang peringatan HUT RI.
Keduanya sama-sama
menyinggung soal PPHN.
Lewat pidatonya, Bamsoet
menyatakanbahwa perlu ada amendemen terbatas UUD 1945 agar MPR ditambah
kewenangannya, yakni menetapkan PPHN.
Dalam pidato di momen
yang sama, Jokowi mengapresiasi MPR yang memiliki agenda untuk membentuk PPHN.
Seolah lampu hijau dari
Jokowi bagi MPR untuk melanjutkan pembahasan pembentukan PPHN.
Namun, Jokowi tidak
menyebut secara gamblang bahwa itu bisa dilakukan lewat amendemen konstitusi.
"Agenda MPR untuk
mengkaji substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara juga perlu
diapresiasi untuk melandasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan lintas
kepemimpinan," kata Jokowi,
saat pidato di Sidang Tahunan MPR HUT RI ke-76, 16
Agustus
2021.
Golkar Bergolak, PDIPDukung
Sikap fraksi partai
politik di MPR terbelah menanggapi usulan amendemen UUD 1945.
Empat fraksi, yakni Golkar, Nasdem, Demokrat, dan PKS,
sepakat menolak usulan amendemen,
meski hanya sebatas pemberian kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN.
Salah satu petinggi Partai Golkar mengatakan, Ketua Umum Airlangga
Hartarto sampai menelepon Bambang Soesatyo setelah peringatan Hari Konstitusi
18 Agustus 2021.
Airlangga menegur
Bamsoet karena terlalu aktif menyuarakan soal amendemen konstitusi.
Padahal, sejak awal,
Golkar memutuskan menolak usulan amendemen UUD 1945 dan perpanjangan masa
jabatan Presiden.
Media
telah berusaha mengkonfirmasi kepada Airlangga Hartarto, namun tidak direspons.
Ketua Fraksi Golkar di MPR,
Idris Laena, mengatakan,
perbedaan sikap politik Bamsoet dapat dimaklumi, mengingat Bamsoet menjabat sebagai Ketua MPR RI
yang mewakili kepentingan beragam fraksi partai.
"Soal sikap Bamsoet, kami memahami, beliau adalah Ketua yang notabene speaker-nya MPR. Tetapi, sebagai kader Golkar, kalau partai sudah punya keputusan,
ya Bamsoet harus ikut perintah partai," kata Idris.
Partai Nasdem juga turut
menolak amendemen UUD 1945 dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Akhir Juni kemarin,
Ketua Umum Nasdem,
Surya Paloh, sampai menggelar pertemuan via daring dengan
beberapa anggota fraksi Nasdem.
"Di tengah pandemi
seperti ini, tentu konsultasi publik yang masif yang kita
harapkan sulit dilaksanakan secara optimal, ada baiknya kita menunggu pandemi
mereda, sehingga belum perlu untuk dilakukan amandemen
konstisusi pada saat sekarang ini," kata Taufik Basari, Ketua Fraksi
NasDem.
Sementara itu, PDIP
tetap pada pendiriannya.
Mereka ingin ada suatu
pedoman pembangunan seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) di masa
lalu.
Oleh karena itu,
amendemen UUD 1945 perlu dilakukan.
PDIP bahkan menuangkan
keinginan amendemen konstitusi dalam Rekomendasi Kongres V yang digelar di
Bali, pada 10 Agustus 2019 silam.
Dari hasil rekomendasi
Kongres, PDIP mengusulkan amendemen terbatas UUD 1945 untuk menambah kewenangan
MPR menetapkan GBHN.
Saat ditanya soal usulan
perpanjangan masa jabatan Presiden sampai 2027 melalui pintu amendemen, Wakil
Ketua MPR dari PDIP menegaskan,
itu bukan agenda partainya.
"PDIP tetap
konsisten pada agenda amandemen terbatas UUD 1945 hanya untuk menghadirkan kembali
GBHN melalui penambahan kewenangan MPR. Di luar perubahan terbatas itu, bukan
agenda PDIP. Kita tidak improvisasi yang lain", kata Basarah. [qnt]