Kendati demikian, pada kenyataannya, penerapan UU PKDRT kepada korban, malah sering dijadikan alat impunitas bagi pelaku, sekaligus digunakan untuk mengaburkan siapa sesungguhnya yang menjadi korban.
Lebih lanjut, Siti mengatakan bahwa peristiwa yang dialami oleh Valencya ini masuk dalam KDRT berlanjut atau post separation abuse.
Baca Juga:
Menantu Aniaya Mertua di Asahan: Motif Hubungan Intim Ditolak
Adapun yang dimaksud yakni KDRT yang dialami terus berlangsung meski perkawinan telah putus melalui perceraian.
"Apa yang terjadi pada Ibu Valencya ini bentuk KDRT berlanjut, karena saat peristiwa yang diadukan, posisi Valencya ini secara de facto sudah bercerai," ujarnya.
Menurut penjelasannya, KDRT berlanjut ini sebenarnya disebabkan relasi kuasa yang dimiliki laki-laki terhadap perempuan. Di mana sang laki-laki ingin terus mengontrol, mengintimidasi, menghukum, menyakiti, serta adanya kebutuhan untuk 'menang' terhadap mantan pasangannya.
Baca Juga:
Gegara Hasrat Tak Terpenuhi, Pria di Asahan Cekik Istri dan Bacok Mertua Pakai Kapak
Nilai-nilai inilah, lanjut dia, yang menjadikan korban KDRT walau sudah bercerai masih menghadapi bentuk-bentuk kekerasan.
"Dalam kasus Valencya jika saja aparat kepolisian dan kejaksaan mau menjadikan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami Valencya selama 18 tahun maka tidak boleh dia ditempatkan sebagai tersangka atau terdakwa," tegasnya.
Komnas Perempuan mengaku telah menerima aduan terkait permasalahan rumah tangga Valencya dengan Chan sejak Juli 2021 lalu.