WahanaNews.co | Berkas perkara dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai, Papua, pada tahun 2014 atas nama tersangka IS lengkap atau P-21. Hal itu disampaikan Jaksa penuntut Direktorat Pelanggaran HAM Berat Kejaksaan Agung RI.
"Berkas perkara telah lengkap secara formil dan materiel pada hari Jumat (13/5)," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Baca Juga:
Pimpinan KKB Paniai Tiba di Polda Papua untuk Pemeriksaan Intensif
Setelah berkas perkara dinyatakan lengkap, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) huruf b, Pasal 138 ayat (1) dan Pasal 139 KUHP, jaksa penyidik diminta untuk serahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum guna tentukan apakah perkara tersebut sudah penuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
"Tersangka IS akan dilakukan penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti (Tahap II) oleh Penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat kepada tim penuntut umum sebelum akhir bulan Mei 2022," kata Ketut.
Tersangka IS disangkakan melanggar kesatu Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 9 huruf a jo. Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan kedua Pasal 40 jo. Pasal 9 huruf h jo. Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Baca Juga:
Sempat Viral Aksinya Terekam CCTV, Pelaku Curanmor Bersenpi Ditangkap Polres Merangin dan Polres Bungo
Tersangka berinisial IS adalah seorang purnawirawan TNI. Pada tahun 2014, saat peristiwa Paniai terjadi, tersangka adalah perwira penghubung di Kodim di Paniai.
"IS, purnawirawan TNI. Dia perwira penghubung di Kodim di Paniai," kata Jampidsus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu (2/4).
Peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de jure dan/atau de facto berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya, serta tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya dan juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk keperluan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.