WahanaNews.co | Kejaksaan Negeri (Kejari)
Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2)
atas perkara penistaan agama oleh 4 terdakwa petugas Tim Forensik RSUD Djasamen
Saragih.
Kepala
Kejaksaan Negeri (Kajari) Pematangsiantar, Agustinus Wijono Donoseputro, mengeluarkan SKP2
pada Rabu (24/2/2021).
Baca Juga:
Pembunuhan Berencana di Muaro Jambi, Pelaku Terancam Hukuman Mati
Ada pun
alasan penghentian penuntutan ditemukan kekeliruan oleh jaksa peneliti. Ia juga
mengakui jaksa peneliti kurang cermat.
"Ditemukan
kekeliruan dari Jaksa peneliti dalam menafsirkan unsur-unsur, sehingga tidak
terpenuhinya unsur-unsur dakwaan kepada para terdakwa," jelas Agustinus
dalam konferensi pers di Gedung Kejari Pematangsiantar, Jalan Sutomo, Rabu (24/2/2021) sore, pukul
15.30 WIB.
Selain
itu, tidak ditemukan cukup bukti yang dilakukan para terdakwa.
Baca Juga:
Pasca Pemblokiran Jalan, Polsek Mandiangin Bersama Personil Brimob Patroli Gabungan
SKP2,
kata Agustinus, dilakukan berdasarkan Pasal 14 huruf (a) junto pasal 140 ayat 2
huruf (a) KUHAP.
"Menghentikan
penuntutan perkara pidana atas nama Dedi Agus Aprianto dan kawan-kawan karena
tidak terdapat cukup bukti," lanjut Agustinus.
Meski
demikian, ia menjelaskan, SKP2 dapat dicabut kembali apabila di kemudian hari terdapat
alasan baru yang diperoleh penuntut umum.
Kemudian,
SKP2 dicabut bila ada putusan praperadilan atau telah mendapat putusan akhir
pengadilan tinggi yang menyatakan penghentian penuntutan tidak sah.
"Dalam
perkara yang dilimpahkan ke pengadilan salah satu unsur tidak terbukti maka itu
bebas," kata Agustinus.
Tak Penuhi
Tiga Unsur
Ia
menjelaskan, ada unsur-unsur yang tidak terbukti dalam kasus tersebut.
Antara
lain, unsur kesengajaan dalam pasal 156 huruf a junto Pasal 55
ayat (1) tentang Penistaan Agama.
Dalam
berkas perkara, keempat tersangka mengakui melakukan pemusalaran jenazah atas
jenazah almarhumah Zakiah, dan ada membuka pakaian sampai telanjang.
Hal itu
semata-mata bertujuan untuk membersihkan kotoran jenazah yang masih melekat di
dalam tubuh.
Selanjutnya,
kata Agustinus, dihubungkan dengan kondisi yang mendesak pasien suspek
Covid-19, maka tidak menunggu waktu lama dalam penanganannya, dan perbuatan
tersebut harus dilakukan.
"Sehingga
dengan demikian niat jahat atau Mens rea
dari empat terdakwa untuk menodai agama Islam atau agama yang dianut di
Indonesia, dengan cara memandikan jenazah wanita muslim yang bukan muhrim dan
membuka pakaian sampai telanjang, tidak ditemukan adanya niat dari para
terdakwa," jelasnya.
"Jadi
kami simpulkan unsur ketidaksengajaan tidak ditemukan dalam perkara ini. Para
pelaku melakukan tugasnya pemusalaran pasien suspek Covid," katanya,
menambahkan.
Selain
itu, unsur kesengajaan di muka umum dalam Pasal 156 huruf a junto Pasal 55
ayat (1) tentang Penistaan Agama.
Bahwa
dari keterangan dari saksi dan para terdakwa melalui bukti surat dan berkas
perkara, diperoleh fakta bahwa rumah sakit, khususnya ruang instalasi jenazah,
bukan tempat umum.
Ruang
instalasi jenazah Forensik RSUD Djamasen Saragih bebas dikunjungi untuk umum,
namun tidak semua orang bisa memasukinya.
Sehingga
tidak bisa disebut sebagai tempat umum.
Dalam
unsur perkara ini, jelas Agustinus, yang terjadi di masa pandemi Covid 19
sebagaimana Perpers 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran
Covid-19 sebagai bencana nasional.
"Maka
akses masuk ke ruangan tersebut sangat terbatas, maka dengan demikian unsur di
muka umum itu tidak terbukti," bebernya.
Selanjutnya
terkait unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatau agama yang dianut di
Indonesia, dalam Pasal 156 huruf a junto Pasal 55 ayat (1)
tentang Penistaan Agama, dari keterangan ahli dalam berkas perkara, 4 terdakwa
disebut ada melanggar dua ketentuan, yaitu SOP dari RSUD Djasamen Saragih tentang penanganan
jenazah.
Agustinus
menjelaskan, pemandian jenazah yang bukan muhrimnya bukanlah sebagai bentuk
penodaan atau pelecehan agama.
Namun
perbuatan itu murni dilakukan untuk melakukan tugas, berdasarkan surat
keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar yang dikeluarkan dalam kondisi
darurat sesuai dengan Perpers 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non-alam
penyearan Covid-19 sebagai bencana nasional.
Bahwa
dengan demikian pelanggaran prosedur yang dilakukan 4 terdakwa belum termasuk
sebagai perbuatan penodaan secara agama yang dianut di Indonesia.
"Unsur
mengeluarkan perasaan melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat
permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatau agama yang dianut di Indonesia
tidak terpenuhi dalam perkara ini," pungkasnya. [dhn]