WahanaNews.co | Buruh kembali ke pusaran politik praktis setelah partai didirikan pada 5 Oktober lalu.
Kehadiran Partai Buruh dinilai tak lepas dari bayang-bayang pragmatisme politik kelompok elite.
Baca Juga:
Kampanyekan Salah Satu Paslon, ASN di Cianjur Ditetapkan Polisi Jadi Tersangka Pidana Pemilu
Dalam deklarasi itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, didapuk menjadi Ketua Umum Partai Buruh 2021-2026.
Penunjukan itu diklaim hasil dari suara 11 elemen serikat buruh yang ada.
Said Iqbal dengan percaya diri menyebut Partai Buruh bukan hanya didukung oleh kelas pekerja, namun juga mendapat dukungan dari elemen masyarakat sipil lain, seperti petani, nelayan, guru, hingga organisasi gerakan perempuan.
Baca Juga:
Soal Hasil Pilpres 2024: PTUN Jakarta Tak Terima Gugatan PDIP, Ini Alasannya
Namun kebangkitan kembali Partai Buruh dikhawatirkan hanya untuk memenuhi hasrat kepentingan elite tertentu menjelang Pemilu 2024.
Kekhawatiran itu bisa dilihat dari urungnya Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) bergabung ke partai tersebut.
Sekretaris Jenderal KASBI, Sunarno, menyebut, pihaknya tak akan bergabung jika pembentukan Partai Buruh hanya untuk Pemilu 2024 mendatang.
"Kalau itu dibangun untuk ke depan untuk persatuan alternatif sejatinya kita sepakat, kalau hanya sekadar itu [Pemilu] 2024 ya kita belum bersepakat," kata Sunarno.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, menilai, kemunculan Partai Buruh menjelang Pemilu 2024 harus dipertanyakan.
Ia khawatir elite Partai Buruh hanya akan memanfaatkan suara massa buruh untuk pemilu.
"Idealnya kalau memang itu bertujuan jangka panjang, dideklarasikan sudah tahun-tahun sebelumnya daripada menjelang tahun pemilu ini. Itu sudah kelihatan sekali polanya," kata Wasisto kepada wartawan, Rabu (6/10/2021).
Menurut Wasisto, pilihan KASBI tidak mau berpihak juga merupakan pilihan yang logis.
Sebab, selama ini gerakan-gerakan buruh memperlihatkan kecenderungan hanya menonjolkan para elite buruh itu sendiri.
"Artinya, politik buruh pada akhirnya cukup elitis juga karena hanya elite saja yang diakomodir, tapi anggotanya belum tentu mendapat terapan yang sama," ungkapnya.
Keberpihakan Partai Buruh juga dipertanyakan tatkala deklarasi dilakukan di sebuah hotel mewah, yakni Hotel Grand Cempaka, Jakarta.
Menurut Wasisto, tindakan itu sangat kontradiktif.
Ia menliai pemilihan tempat deklarasi itu jauh dari jangkauan semua kalangan.
Pada akhirnya, kata Wasisto, kemunculan Partai Buruh berpotensi bukan sebagai alat perjuangan buruh, melainkan hanya simbol politik.
"Saya pikir kemasan buruh inilah yang dijual oleh Said Iqbal bisa menarik semua perhatian kalangan buruh," ucapnya.
Tanpa Ideologi Partai Buruh
Melihat perjalanan partai buruh sejak era reformasi, butuh formula dan strategi yang moncer untuk bertahan di tataran politik praktis.
Sejak rezim Orde Baru runtuh, beberapa kali partai buruh tak pernah lolos saat verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Suara yang digalang pun tak pernah mencapai target (ambang batas) dan mendapat kursi di parlemen.
Partai Buruh Nasional (PBN), misalnya, pada Pemilu 1999, partai itu hanya berhasil mendapat 111.629 suara.
Walhasil, gagal mendapat kursi parlemen.
Wasisto menilai, salah satu tantangan Partai Buruh yang muncul pascareformasi adalah cap “kiri” dan “komunis”.
Ia mengatakan, cap itu dilahirkan oleh rezim orba dan masih menjadi wacana dominan di Indonesia sampai saat ini.
Sementara itu, ideologi kiri di Indonesia dilarang secara konstitusi.
Berbeda dengan masa Sukarno, ideologi kiri justru bebas dan mendapatkan kejayaannya.
Maka tak mengherankan, kata Wasisto, saat itu partai berlabel buruh seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) punya massa yang banyak dan suara yang kuat.
Wasisto berpendapat, jika Partai Buruh yang baru dideklarasikan ini ingin bertahan, maka harus membuat narasi baru, ideologi yang mampu menyatukan suara buruh.
Sebab, narasi “ketertindasan” pun dirasa kurang mujarab.
Menurutnya, hal itu dipengaruhi juga oleh semakin beragamnya buruh pada masa kini.
Jika dulu buruh hanya dikelompokkan pekerja di pabrik, maka saat ini ada buruh freelance dan sebagainya.
"Makanya kalau mau menyatukan buruh secara keseluruhan juga cukup sulit karena tidak ada ideologi yang mampu menyolidkan buruh dalam satu barisan," ujarnya.
Klaim Konstituen dan Kans di Parlemen
Said Iqbal mengklaim, Partai Buruh kini didukung oleh 11 elemen organisasi sipil, terutama dari kelas pekerja dengan sekitar 10 juta konstituen.
Jika klaim itu benar, maka Partai Buruh berpotensi mendapatkan kursi parlemen di 2024.
Asumsi itu didasarkan pada ambang batas parlemen (parliamentary threshold), yakni 4 persen.
Pada Pemilu 2019, berdasarkan hasil rekapitulasi perhitungan KPU, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berhasil mengumpukan 6.323.147.
Dari jumlah itu, PPP berhasil melewati ambang batas dengan persentase 4,52 persen.
Pengamat politik Universitas Andalas, Asrinaldi, menilai, dukungan 10 juta konstituen tak menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan.
Apalagi, itu hanya klaim dan belum terbukti.
Ditambah lagi, kata Asrinaldi, ongkos untuk bergelut di politik praktis sangat mahal.
Ia mencontohkan, Perindo bersama Hari Tanoe dengan modal triliunan rupiah, itu pun tidak menghasilkan suara.
"Barang kali ini jadi pertimbangan masyarakat Partai Buruh, perlu biaya besar, televisi, media, dan sebagainya. Saya pikir politik di Indonesia masih mahal," ucapnya.
Said Iqbal sendiri menyatakan, pendirian Partai Buruh karena ingin memulai perjuangan di jalur parlemen dan tidak hanya di jalanan.
Iqbal juga menegaskan bahwa partainya akan menawarkan hubungan yang lebih baik antara industri dan pekerja.
"Kami ingin berjuang secara parlemen, bukan lagi sekedar di jalan, di jalan tetap ada sesuai konstitusi, tapi kami ingin berjuang di parlemen," kata Iqbal kepada awak media, Selasa (5/10/2021).[dhn]