WahanaNews.co | Dari hasil penyelidikannya, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menemukan delik baru dari kegiatan Khilafatul Muslimin.
Salah satunya adalah pelanggaran hukum dalam sistem pendidikan yang mereka terapkan di lembaga-lembaga pendidikannya.
Baca Juga:
Polisi Cokok Menteri Penerimaan Zakat di Lampung
Direskrimum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi mengatakan, temuan delik baru ini membuat pihaknya akan menetapkan Khilafatul Muslimin melanggar Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Undang-undang Pesantren.
"Perbuatan melawan hukum baru, yaitu terkait dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Di mana, kegitan mereka juga melanggar Sisdiknas dan juga Undang-undang tentang Pesantren," kata Hengki saat konferensi pers di Polda Metro, Jakarta, Kamis, 16 Juni 2022.
Persoalan pertama yang membuat polisi mengganggap Khilafatul Muslimin melanggar Undang-undang itu adalah konten dari metode syiar yang mereka terapkan melalui website berisi video, artikel, serta selebaran-selebaran.
Baca Juga:
Khilafatul Muslimin Lakukan Hidden Crimes, Artinya Apa Sih?
Isinya kata dia bertentangan dengan ideologi negara, terutama Pancasila.
"Ini setelah dianalisis oleh para ahli, baik itu ahli hukum pidana, literasi, ideologi islam, kemudian ahli bahasa dan sebagainya, firm bahwa ini bertentangan dengan UU Ormas yaitu bertentangan dengan Pancasila," ucap Hengki.
Menurut Hengki, apa yang disampaikan para petingginya, baik Khalifah, dan para Amir, ditemukan tidak ada yang mendukung Pancasila dan NKRI.
Mereka mengatakan, Pancasila dan UUD 1945 tidak akan bertahan lama, Islam tidak mengenal toleransi, hingga banyak kyai zaman dahulu yang banyak berbohong.
"Kiai-kiai di zaman dulu banyak bohongnya. Nah ini melukai umat muslim juga. Kemudian, demokrasi dilaksanakan harus dengan senjata. Yang lebih parah lagi, selain website dan buletin mereka ada lembaga dan pengkaderan," ucap Hengki.
Pendidikan yang dilaksanakan selain dengan media syiar itu, yakni melalui lembaga pendidikan dan pengkaderan, Hengki mengatakan, telah memeriksa bersama dengan Kementerian Agama. Hasilnya lembaga pendidikan yang mereka sebut pesantren, faktanya kata Hengki bukanlah pesantren.
"Tidak memenuhi persyaratan sebagai persantren. Mereka memiliki 25 pondok pesantren, sementara ya. Tetapi, apabila dihitung unitnya karena ada tingkatannya, yaitu terdiri dari 31," ujar Hengki.
Lembaga pendidikan yang mereka sebut pesantren ini kata Hengki kurikulumnya diatur oleh murabbi untuk masing-masing pimpinan pondok pesantren. Pimpinan pesantren itu dalam struktur organisasi Khilafarul Muslimin kata Hengki setara dengan Menteri Pendidikan.
Kurikulum pendidikan yang dibuat mereka berbasiskan khilafah dan tak pernah mengajarkan Pancasila maupum UUD 1945. Mereka juga diajarkan hanya taat kepada kholifah sedangkan kepada pemerintah Indonesia tidak wajib.
Diajarkan juga bahwa sistem pemerintahan yang dikenal adalah khilafah dan diluar itu diajarkan sebagai sistem thogut, atau buatan setan maupun iblis.
"Semua lembaga pendidikannya tidak mengacu kepada perundang-undangan nasional. Apakah itu UU Sisdiknas maupun UU Pesantren. Memang dalam UU tersebut mewajibkan berazaskan Pancasila dan UUD 1945," kata Hengki.
Untuk jenjang pendidikannya, Hengki menjelaskan, Khilafatul Muslimin menetapkan jajaran SD selama 3 tahun, SMP 2 tahun, SMA 2 tahun, lalu masuk ke 2 universitas yang mereka miliki di Bekasi dan NTB.
Setelah 2 tahun menempuh pendidikan di universitas mereka mendapatkan Sarjana Kekhilafahan Islam.
"Selama 2 tahun mendapatkan gelar SKH, Sarjana Kekhalifahan Islam. Oleh karenanya, yayasan pendidikan yang didirikan itu adalah sebagai suatu alat, oleh karenanya aktanya kami sita sebagai instrumental delik atau alat kejahatan," kata Hengki. [rin]