"Taliban 2.0 melakukan re-branding lewat Twitter dan konten media sosial lainnya dengan menunjukkan ciri kekinian. Setelah memasuki Kabul, misalnya, para militan Taliban lantas mem-posting video dan foto yang menampilkan para pejuang mereka sebagai sosok orang biasa yang mudah didekati," tutur Subhan.
Sementara, Nasir Abbas menceritakan tentang awal mula serta perjalanannya menjadi teroris di berbagai negara, termasuk belajar di Afghanistan.
Baca Juga:
Kesbangpol JB Gelar Dialog: Ingin Masyarakat Waspadai Ancaman Terorisme dan Radikalisme
"Pada umur 15 tahun, saya sudah ke Afghanistan dengan niat untuk melanjutkan pendidikan. Namun, karena tidak memiliki ijazah, akhirnya saya masuk NII. Dari situ awal mula saya mengenal dengan gerakan terorisme dan ekstremisme," ujar Nasir.
Sejarawan Muhammadiyah, Mu"arif, menjelaskan tentang konsep dasar moderasi dalam beragama dalam perspektif sejarah.
"Fakta-fakta historis menunjukkan bahwa kekerasan dengan mengatasnamakan agama sudah terjadi sejak zaman Sahabat Nabi dan biasanya dilatarbelakangi oleh persoalan atau kepentingan politik," jelasnya.
Baca Juga:
FKTP Kalteng: Fenomena Radikalisme Mulai Muncul Dikalangan Elite dan Terdidik
Direktur Eksekutif Cangkir Opini, Zaki Ma"ruf, menjelaskan, diskusi ini dikonsep lebih aktif dan interaktif agar peserta dapat ikut serta dalam berdiskusi dan tidak satu arah.
"Agenda ini diawali dengan dialog tentang ekstremisme dalam beragama dan akan dilanjutkan dengan diskusi per kelompok yang nantinya akan melahirkan sebuah narasi dan gerakan dalam menyuarakan moderasi beragama," jelasnya.
Zaki mengatakan, kegiatan ini dilaksanakan untuk merespon berbagai isu terorisme yang akhir-akhir ini masih meresahkan masyarakat Indonesia.