Seperti
tentang kematian 6 anggota Front Pembela Islam (FPI) dalam aksi kejar-mengejar
di tol Jakarta-Cikampek, ia berada dalam perbedaan persepsi yang bertolak
belakang. Selain faktor pembuktian yang harus ditunjukkan oleh kedua belah
pihak kepolisian dan FPI, pihak FPI menganggap apa yang terjadi adalah bagian
perjuangan atau jihad dan kematian adalah aksi jibakutai atau syahid tinggi
derajatnya di sisi Allah. Sementara kepolisian meyakini bahwa dialah yang
berjuang demi menegakkan kebenaran dan dialah yang mati syahid jika itu
terjadi.
Di
sinilah perlu tim peneliti independen yang dianggap mampu menemukan kebenaran
yang sebenar-benarnya dan dijauhkan dari kemelut persepsi yang sudah terbangun
yang menjadikan pembuktian berdasarkan fakta tunduk pada penafsiran
persepsional.
Baca Juga:
Habib Rizieq Shihab Singgung Nama Ahok dalam Istighosah Kubro PA 212
Faktor
perbedaan lingkungan FPI dan kepolisian yang mengajarkan tentang definisi
perjuangan atau jihad menjadikan masing-masing kekeh dengan pendiriannya.
Kondisi psikologis yang berbenturan menjadikan pembuktian materiil tidaklah
sederhana. Yang ada adalah negasi dan perlunya menunggu hasil temuan Komisi Hak
Asasi Manusia sebagai pembanding dari rilis kepolisian. Setelah keluar temuan
Komnas HAM, tanggapan polisi juga harus didengar jika ia menyangkal temuan itu.
Begitulah kebenaran adalah jamak diperdebatkan apalagi dalam kasus yang memakan
korban nyawa.
Datangnya
Muhammad Rizieq Shihab ke kantor polisi untuk menyerahkan diri patut diberi
apresiasi, meskipun itu terjadi setelah jatuh korban nyawa. Kehadirannya,
setidaknya, menunjukkan bahwa keselamatan pengikutnya jauh lebih mahal dari kasus
dan hukuman yang akan dia hadapi. Dan semoga tidak ada lagi petaka itu dan apa
yang terjadi ke depan adalah rekonsiliasi demi rekonsiliasi yang tuntas dan
adil bukan yang menyimpan potensi konflik yang tiada berkesudahan.
Baca Juga:
Bahas Normalisasi, Anies: Pembubaran FPI dan HTI Telah Diputuskan dan Disepakati
Jihad
Terkait
motif "jihad" yang bisa menjadi rebutan kedua pihak, maka Jihad dalam arti
perang di jalan Allah adalah perkara besar yang memiliki banyak syarat dan
prosedur. Dengannya, membunuh manusia (musuh) menjadi halal setelah ia
sebelumnya, membunuh, adalah dosa terbesar. Karena besarnya risiko, keputusan
perang harus keluar dari imam atau kepala negara berdasarkan fatwa ulama,
pandangan wakil rakyat dan pertimbangan lainnya.
Seperti
saat perang 10 November 1945 resolusi jihad yang dikeluarkan Hadratussyekh
Muhammad Hasyim Asy "ari, ia berpengaruh besar terhadap lahirnya keputusan
perang melawan tentara Sekutu. Hal serupa, fatwa perang oleh ulama, juga muncul
di Sumatera Barat, di mana pada Agresi Belanda antara 1945-1950 Majelis Islam
Tinggi (MIT) di Bukit Tinggi mengeluarkan fatwa jihad untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi.