Terkait
keputusan perang di tangan imam/raja/sultan/amir atau presiden sebagai pemimpin
tertinggi negara, adalah lantaran bahwa imamlah yang faham betul kekuatan umat,
musuh dan alasan perang. Ibn Qudamah seperti dikutip Sa"id b. Ali al-Qahtani
dalam al-Jihad fi Sabilillah Ta"ala berkata: "Perkara jihad dipasrahkan kepada
ijtihad imam (kepala negara). Rakyat wajib menaatinya".
Permasalahan
muncul ketika kepala negara dianggap tidak legitimate secara syar"i. Di sini,
yang digunakan adalah yang dipilih oleh rakyat baik secara langsung atau oleh
wakil rakyat atau para petinggi negara dan tentara. Atau pemimpin yang secara
de facto telah dan sedang memerintah wilayah tertentu. Tidak harus penguasa
umat Islam sedunia (seperti khalifah atau al-imam al-a"dham) sebab hal itu
sudah sulit dicapai (ma"dzur) baik secara kuantitatif mau pun kualitatif.
Baca Juga:
Habib Rizieq Shihab Singgung Nama Ahok dalam Istighosah Kubro PA 212
Semenjak
akhir kepemimpinan khalifah Usman bin Affan (berkuasa 644-656M), umat Islam
tidak kunjung usai dirundung konflik politik sehingga kepemimpinan terbelah.
Untuk itu kepala pemerintahan yang efektif di sebuah negara adalah yang berhak
mengeluarkan keputusan perang (Sa"id b. Wahf al-Qahtani, al-Jihad fi Sabilillah
ta"ala mengutip dari al-Syarh al-Muqni" "ala Zadil Mustaqni").
Seiring
dengan itu, sang pemimpin membentuk pasukan militer untuk menjaga negara dari
ancaman musuh, seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Indonesia. Merekalah
pengemban tugas jihad yang dengan keberadaan mereka menjadi gugur kewajiban
perang bagi lainnya. Hal ini lantaran hukum awal jihad adalah fardhu kifayah
bukan fardhu "ain. Hukum ini bisa bergeser ke yang kedua dan menjadi kewajiban
individu manakala keadaan darurat dan atas perintah imam. Tidak semua boleh
ikut perang. Dalam sebuah hadits disebutkan penolakan Nabi terhadap sahabat
untuk ikut perang. Nabi memandang baginya jihad yang tepat adalah menjaga ibu
bukan perang. Ada banyak bentuk jihad selain perang dan umat Islam bisa memilih
mana yang paling bisa dia lakukan untuk membela umat, bangsa dan negara.
Posisi
presiden Indonesia sebagai kepala negara yang sah secara syariat telah
ditetapkan dalam konferensi Alim Ulama se-Indonesia di Cipanas 1954. Di mana
pada saat itu dikukuhkan sebagai waliyul
amri ad-dharuri bis-syaukah (pemegang kekuasaan negara darurat). KH Abdul
Wahab Chasbullah menjelaskan saat itu, bahwa dengan tidak adanya al-imam
al-a"dham yang sah yang berkuasa atas seluruh umat Islam sedunia dengan
kriteria mujtahid mutlak, maka sebagai alternatif tiap negara mengangkat imam
dharuri. Ir Soekarno atau Bung Karno yang dipilih oleh para pemuka
warga negara untuk selanjutnya adalah pemimpin yang sah secara syariat sebagai
waliyul amri Indonesia.
Baca Juga:
Bahas Normalisasi, Anies: Pembubaran FPI dan HTI Telah Diputuskan dan Disepakati
Sebagai
waliyul amri, penanggung jawab urusan negara tertinggi, keputusan perang atau
jihad ada di tangan presiden Republik Indonesia bukan selainnya termasuk ulama.
Adanya pemimpin kelompok yang mengeluarkan ajakan jihad dengan sendirinya
tertolak karena keluar dari orang yang tidak berwenang. Selain itu, perang
butuh keahlian dan pelatihan sehingga menjadi domain Tentara Nasional
Indonesia. Warga sipil berjihad lewat jalan lain demi kemaslahatan umat dan
kemajuan bangsa dan negara. (Achmad
Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya)-qnt
Sumber:
www.nu.or.id/post/read/125311/klaim-jihad-antara-fpi-dan-polisi
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.