Selain itu, KWI dan PGI mempertimbangkan “bahwa yang membuat penafsiran keabsahan perkawinan in casu larangan perkawinan beda agama dan kepercayaan tetaplah pemuka agama, sehingga apabila kedua pasangan tetap berkehendak untuk melaksanakan perkawinan meski salah satu ajaran agama atau kepercayaan dari salah seorang pasangan melarangnya, permohonan penetapan pencatatan perkawinan diberikan dengan syarat salah satu pasangan harus memilih mengikuti tata cara perkawinan salah satu agama atau kepercayaan pasangannya.”
Sementara itu, SETARA Institute menegaskan dalam rilis yang dikeluarkan pada Kamis (20/07/2023) bahwa SEMA tersebut secara substantif tidak kompatibel dengan kebhinekaan Indonesia dan bangunan negara Pancasila.
Baca Juga:
Tiba di Indonesia, Paus Fransiskus Disambut Menteri Agama, Kardinal dan Ketua KWI
“Fakta obyektif keberagamaan identitas warga negara, termasuk dari segi agama, seharusnya semakin mendorong perangkat penyelenggaraan negara pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan yang lebih baik bagi seluruh warga negara dengan identitas yang beragam tersebut,” kata Halili Hasan, direktur eksekutif SETARA Institute.
Selain itu, ia menyebut SEMA tersebut sebagai kemunduran yang menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam.
“Sebelumnya, beberapa Pengadilan Negeri (PN) telah menunjukkan kemajuan dalam menjamin hak-hak warga negara dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama, seperti yang dilakukan oleh PN Jakarta Selatan dan PN Yogyakarta,” imbuhnya dikutip dari hidupkatolik.com.
Baca Juga:
Pemprov Jambi Tegaskan Pelarangan Mobilitas Truk Batubara, Pelanggar Akan Ditindak
Ia juga menyayangkan SEMA tersebut lantaran hal ini menegaskan fakta memburuknya situasi demokrasi Indonesia yang dalam lima tahun terakhir mengalami defisit. Defisit bukan hanya menimpa cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif tetapi juga yudikatif.
Seraya menyebut SEMA tersebut sebagai instrumen penyeragaman putusan pengadilan, ia menegaskan bahwa SEMA seharusnya hanya bersifat internal dan mengenai administrasi peradilan, bukan instrumen untuk mengekang kebebasan hakim dalam melakukan pembuktian, memberikan penafsiran, dan mengambil keputusan yang seadil-adilnya sesuai dengan bukti-bukti dalam due process of law yang digelar di persidangan pada masing-masing pengadilan.
[Redaktur: Zahara Sitio]