WahanaNews.co | Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengelurkan sebuah surat berisi pertimbangan tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan perwakinan beda agama.
Surat tersebut hari ini beredar luas di aplikasi pesan WhatsApp.
Baca Juga:
Pemprov Jambi Tegaskan Pelarangan Mobilitas Truk Batubara, Pelanggar Akan Ditindak
Surat dua halaman yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut beredar lima hari setelah Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Muhammad Syarifuddin, menandatangani Surat Edaran No. 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Menurut Surat Edaran, atau SEMA, tersebut, para hakim harus berpedoman pada dua ketentuan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
“Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” demikian bunyi SEMA tersebut.
Baca Juga:
Kominfo, PT Pos Indonesia, dan KWI Launching Perangko Khusus Kunjungan Paus Fransiskus
“Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.”
Surat KWI dan PGI tersebut tertanggal 20 Maret 2023 berisi enam pertimbangan yang disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia termasuk “bahwa perkawinan antar-umat beda agama dan kepercayaan adalah sebuah fenomena yang banyak ditemui di tengah masyarakat Indonesia yang plural sehingga memerlukan suatu pedoman bagi hakim dalam memutus permohonan penetapan pencatatan perkawinan antar-umat beda agama dan kepercayaan demi memberikan kepastian hukum.”
Dalam pertimbangan lainnya, KWI dan PGI mengatakan “bahwa Pasal 28E UUD 1945 menyatakan, ‘Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali,” sehingga menurut kami, adalah hak dari setiap pasangan antar-umat beda agama dan kepercayaan untuk melangsungkan perkawinan dan memilih berdasarkan tata cara agama atau kepercayaan apa perkawinan itu akan dilangsungkan.”