Kini, katanya, agenda ini coba dihidupkan kembali melalui rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembentukan DKN.
“Pembentukan melalui Perpres untuk memotong proses legislasi di parlemen dan menutup ruang partisipasi publik. Karena itu pembahasannya terbatas dan tertutup. Hal ini menjadi berbahaya karena menjadikan pembahasan Perpresnya berada di dalam ruang gelap yang jauh dari partisipasi publik,” katanya.
Baca Juga:
Teuku Markam: Keturunan Bangsawan Aceh, Penyumbang Emas Tugu Monas
Menurut Gufron, pembentukan DKN juga tidak urgen dan bisa memunculkan permasalahan baru serta serius jika dilihat dari konteks reformasi sektor keamanan, terutama untuk menjaga dan memajukan politik demokrasi ini.
Pasalnya, pembentukan DKN bisa dikatakan bertentangan dengan konstitusi yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan, dalam hal ini antara kekuasaan militer dan sipil.
“Secara paradigma berupaya menyatukan domain pertahanan dan keamanan, yang semuanya akan dimasukkan ke dalam lingkup fungsi dan tugas DKN,” tuturnya.
Baca Juga:
Batara Ningrat Simatupang, Pendekar Ekonomi yang Tak Henti Mengais Ilmu
Gufron juga mengatakan jika gagasannya adalah ingin mengoptimalkan peran Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas), maka yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah mengevaluasi keberadaan Wantanas agar sesuai dengan Dewan Pertahanan Nasional sebagaimana diamanatkan Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Oleh karena itu, menurutnya, seharusnya yang dibentuk adalah Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang berfungsi membantu Presiden dalam menyusun kebijakan pertahanan nasional, bukan justru membentuk DKN.
“Pembentukan DKN dalam realitasnya akan menimbulkan tumpang-tindih fungsi dan tugas lembaga negara yang sudah ada. Misalnya dengan Kemenko Polhukam yang selama ini fungsi dan tugasnya melakukan koordinasi keamanan nasional,” katanya. [gun]