"Bahwa dengan demikian, Pemohon
tidak salah dalam menarik Termohon I sebagai pihak dalam permohonan praperadilan
a quo," tegas Kurniawan.
Sedangkan untuk termohon kedua adalah
Jaksa Agung, di mana bertindak sebagai pihak yang
dimintakan persetujuan jika akan dilakukan penghentian penyidikan.
Baca Juga:
Sri Mulyani Hadiri Penyerahan Kawasan Hutan Hasil Penguasaan Kembali Satgas PKH
Kurniawan menyebutkan, dalam Pasal 113
ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan dikatakan: "Untuk kepentingan penerimaan negara, atas
permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di
Bidang Kepabeanan."
"Bahwa dengan demikian, Pemohon
tidak salah dalam menarik Termohon II sebagai pihak dalam permohonan
praperadilan a quo," sambung Kurniawan.
Lebih lanjut, Kurniawan memaparkan
materi Praperadilan yang dia ajukan terkait penghentian penyidikan atas kasus
dugaan penyelundupan sepeda lipat Brompton dalam rombongan Sri Mulyani,
yang diangkut menggunakan pesawat Qatar Airways kode penerbangan QR0958 dari
Doha menuju Jakarta pada 2019 lalu.
Baca Juga:
Diskon Listrik 50 Persen Serap Rp13,6 Triliun, Inflasi Lebih Terkendali
Kurniawan memaparkan kronologi
penindakan DJBC terhadap kejadian tersebut yang dia nilai aneh.
Karena,
menurutnya, pihak kepabeanan, dalam hal ini Direktur Kepabeanan
Internasional dan Antar Lembaga DJBC Kementerian Keuangan, Syarif Hidayat, menyatakan bahwa dua sepeda Brompton
itu sudah dikuasai negara pada September 2020.
Tapi, tanggal 11 Februari 2021 baru
dinyatakan dimiliki negara.