WahanaNews.co, Jakarta - Menko Polhukam Mahfud MD melihat sebagai hal yang wajar jika Presiden Joko Widodo memiliki pengetahuan komprehensif dari intelijen mengenai situasi dan orientasi partai politik di Indonesia.
Mahfud MD menjelaskan bahwa Presiden Jokowi mendapatkan laporan rutin dari intelijen yang membantunya memahami dengan baik sifat politikus-politikus di Indonesia.
Baca Juga:
Dua Pekan Menjelang Pilkada Jakarta, Pasangan Calon Berebut Dukungan Jokowi-Anies
"Ini Presiden pasti punya intelijen, siapa politikus yang nakal, siapa politikus yang benar. Siapa yang punya kerja gelap, siapa yang punya kerja terang itu punya Presiden," kata Mahfud usai acara Jalan Sehat Nasional HUT ke-57 KAHMI, Jakarta, Minggu (17/9/2023).
Menurutnya, wajar jika Jokowi mendapatkan laporan dari intelijen lantaran isu keamanan, hukum, dan hal sensitif di masyarakat merupakan tugas presiden.
Mengutip CNN Indonesia, Mahfud membantah tudingan koalisi masyarakat sipil yang menilai Jokowi telah menyalahgunakan data intelijen untuk tujuan politiknya.
Baca Juga:
Ribuan Warga Hadir, Saat Jokowi Blusukan di Banyumas Dampingi Luthfi
Ia menilai tak ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh pernyataan Jokowi.
Mahfud menyebut intelijen memang wajib melapor secara berkala kepada presiden.
Selain itu, ia pun menekankan secara kelembagaan BIN bertanggung jawab langsung kepada presiden.
"Apa gunanya ada intelijen kalau tidak boleh lapor ke presiden," ujarnya.
Presiden Joko Widodo sebelumnya mengaku memiliki info lengkap dari intelijen soal situasi dan arah politik partai-partai.
Ia mengaku mendapatkan info itu dari berbagai lembaga intelijen di Indonesia, mulai dari BIN, intelijen Polri dan TNI, hingga info di luar itu.
"Saya tahu dalamnya partai seperti apa, saya tahu. Partai-partai seperti apa saya tahu, ingin menuju ke mana saya juga ngerti," kata Jokowi.
"Jadi informasi yang saya terima komplet. Dari intelijen saya ada BIN, dari intelijen di Polri ada, dari intelijen di TNI saya punya, dan informasi-informasi di luar itu," imbuhnya.
Merespons itu, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai Jokowi melakukan penyalahgunaan data intelijen untuk tujuan politik presiden.
Koalisi ini terdiri dari Imparsial, PBHi, Amnesty International, YLBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Walhi, ICW, HRWG, LBH Masyarakat, dan Setara Institute.
Mereka berpendapat bahwa pernyataan Jokowi tersebut menunjukkan kemungkinan penyalahgunaan wewenang dalam menggunakan alat keamanan negara untuk mencapai tujuan politiknya sendiri.
Mereka juga menegaskan bahwa pengumpulan data dan informasi oleh lembaga intelijen seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan pembuatan kebijakan publik, dan tidak boleh dimanfaatkan untuk memantau semua pelaku politik demi kepentingan politik pribadi.
Dengan dasar pandangan tersebut, Koalisi masyarakat sipil berpendapat bahwa ini dapat menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hukum, termasuk UU Intelijen, UU HAM, dan bahkan UU partai politik.
"Dalam negara demokrasi, partai politik bukanlah ancaman keamanan nasional sehingga sulit untuk memahami apa alasan intelijen dikerahkan untuk mencari informasi terkait data, arah perkembangan partai politik," kata koalisi dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/9/2023).
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]