BANK Sulut dihukum Mahkamah Agung (MA) untuk meminta
maaf di media massa atau membayar denda Rp 1 miliar kepada debitur A
Simanjuntak (konsumen jasa keuangan).
Sebab, Bank Sulut memasukkan nama A
Simanjuntak ke daftar hitam Bank Indonesia, padahal A Simanjuntak debitur
sehat.
Baca Juga:
Mudahkan Pelanggan Bayar Listrik, PLN Mobile Jalin Kolaborasi dengan MotionPay
Atas
vonis itu, Bank Sulut mengajukan kasasi. Putusan MA menyebutkan, "Menolak
permohonan kasasi dari PT Bank Sulut Pusat, cq PT Bank Sulut Utama, cq PT Bank
Sulut Cabang Calaca," seperti dilansir website
MA pada 20 Agustus 2014.
Cukup
banyak konsumen jasa keuangan yang dirugikan akibat adanya sistem Bank
Indonesia checking (BI Cheking),
mengadu ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) maupun ke
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Di
Karawang, LPKSM LINKAR menerima banyak laporan konsumen yang terkena BI
Cheking, konsumen sudah menyelesaikan kawajibannya, angsuran telah dilunasi
sesuai waktu (tenor) bahkan bunga denda keterlambatan angsuran sudah
dibayarkan.
Baca Juga:
Wamendag Roro Serahkan Penghargaan Perlindungan Konsumen 2024 kepada Para Kepala Daerah
Ironisnya
lagi ada konsumen yang telah mengembalikan kendaraan roda empat pada finance,
bahkan konsumen menerima pengembalian uang DP saat penyerahan kendaraan. Secara
hukum konsumen sudah tidak memiliki hutang lagi.
Di
bidang leasing, terutama di masa
pandemi ini, karena sudah tidak sanggup lagi membayar unit kendaraan dan tidak
mau lagi memiliki utang, banyak konsumen yang kendaraannya diserahkan kepada
perusahaan leasing.
Pada
kejadian tersebut saat konsumen hendak meminjam kepada bank, maka ia ditolak
karena konsumen tercatat dalam data BI Cheking.
Menurut
perusahaan leasing/pembiayaan, BI Cheking akan melekat terus dalam sistem
pembayaran konsumen, walaupun konsumen tidak lagi memiliki hutang, karena sudah
diselesaikan segala kewajibannya, namun jejak pembayaran masa lalu tidak bisa
hilang apabila tidak diurus oleh konsumen untuk dihapus.
Akibat
hal tersebut banyak konsumen yang merasa dirugikan, karena pihak bank menolak
memberikan pinjaman dengan alasan BI Cheking.
Walaupun
konsumen telah menunjukkan bukti tidak memiliki hutang lagi kepada leasing
(konsumen sudah tidak memiliki utang), artinya segala kewajiban konsumen sudah
bebas/lepas, namun kenyataannya tetap saja BI Cheking tidak bisa hilang alias
masih melekat dan ini tentunya merugikan konsumen.
Memang
penerapan sistem BI Cheking merupakan perwujudan dari prinsip kehati-hatian
secara internal pada pelaku usaha jasa keuangan.
BI
checking adalah suatu fasilitas yang diizinkan kepada suatu bank untuk melihat apakah calon
konsumen/debiturnya tersebut bersih dan tidak masuk dalam daftar kredit macet
atau sebaliknya sehingga masuk dalam daftar black list.
Fasilitas
BI checking tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang
Sistem Informasi Debitur.
Namun
praktiknya BI checking menjadi hambatan utama bagi konsumen
jasa keuangan (debitur perbankan/leasing), dan PUJK cenderung akan menolak
pengajuan kredit yang diajukan debitur jika memiliki catatan riwayat kredit
yang buruk dan hal ini tentunya tidak fair dan merugikan konsumen.
Perlindungan
terhadap konsumen/nasabah suatu bank/leasing akibat BI Cheking sendiri terdapat
dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK), Peraturan Bank Indonesia No. 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Knows Your Customers Principle),
Peraturan Bank Indonesia No. 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur,
POJK Nomor: 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa
Keuangan.
Pelaku
usaha jasa keuangan/PUJK (bank/lembaga pembiayaan) harus bertanggung jawab
apabila melakukan kelalaian dalam hal pelaporan sebagaimana diatur dalam Sistem
Informasi Debitur hingga menimbulkan kerugian pada nasabahnya.
Bentuk
tanggung jawab tersebut dapat berupa pemberian ganti rugi, karena selain telah
memberikan informasi yang tidak benar, juga dapat dikategorikan sebagai
pencemaran nama baik dan konsumen berhak untuk komplain untuk dihapus dari BI
cheking.
PUJK
yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti
rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui BPSK atau mengajukan ke
badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat
menggunakan jasa bank/lembaga pembiayaan.
Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari.
Pemberian
ganti rugi tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (vide Pasal 19 UUPK).
Pembuktian
terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian. (Dr. Firman T. Endipradja,
Komisioner
BPKN RI, Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana
Universitas Pasundan)-dhn