WAHANANEWS.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang diajukan musisi Tubagus Arman Maulana (Armand Maulana), Nazril Irham (Ariel NOAH), serta 27 musisi dan penyanyi lainnya. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang pada Rabu (17/12/2025).
Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa kewajiban pembayaran royalti atas penggunaan karya cipta dalam pertunjukan komersial berada pada pihak penyelenggara pertunjukan, bukan pada penyanyi atau pelaku pertunjukan.
Baca Juga:
UU TNI Kembali Digugat ke MK, Batasi Prajurit TNI di Jabatan Sipil
Penegasan ini sekaligus mengakhiri perdebatan mengenai pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran royalti dalam konser atau pertunjukan berbayar.
Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 28/PUU-XXIII/2025 menyatakan bahwa frasa “setiap orang” dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta harus dimaknai secara lebih spesifik.
“Menyatakan frasa ‘setiap orang’ dalam norma Pasal 23 ayat (5) UU 28/2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial’,” kata dia.
Baca Juga:
Kritik Suharyanto soal Bencana Sumatera, Saldi Isra Desak Evaluasi Penempatan TNI di Kementerian
Sebelumnya, Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta menyebutkan bahwa setiap orang dapat menggunakan ciptaan secara komersial dalam suatu pertunjukan tanpa izin pencipta, dengan kewajiban membayar imbalan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Namun, ketentuan tersebut dinilai menimbulkan ketidakjelasan mengenai siapa yang wajib membayar royalti.
Mahkamah menilai, persoalan utama yang selama ini muncul adalah ketidakpastian pihak yang harus menunaikan kewajiban pembayaran royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui LMK.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukum menjelaskan bahwa sebuah pertunjukan komersial setidaknya melibatkan dua pihak utama, yakni penyelenggara pertunjukan dan pelaku pertunjukan.
Menurut Enny, penyelenggara pertunjukan adalah pihak yang merancang, mengatur, dan melaksanakan keseluruhan rangkaian acara, sedangkan pelaku pertunjukan adalah individu atau kelompok yang menampilkan karya cipta di hadapan penonton.
Dengan demikian, frasa “setiap orang” berpotensi menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum jika tidak diberi penegasan.
Mahkamah juga menilai bahwa keuntungan dari pertunjukan komersial ditentukan oleh jumlah penjualan tiket. Data penjualan tiket tersebut hanya diketahui secara pasti oleh penyelenggara pertunjukan.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pihak yang seharusnya membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui LMK ketika dilakukan penggunaan ciptaan dalam suatu pertunjukan secara komersial adalah pihak penyelenggara pertunjukan,” kata Enny.
Penegasan soal “Imbalan yang Wajar”
Selain soal kewajiban pembayaran royalti, MK juga memberikan penafsiran atas frasa “imbalan yang wajar” dalam Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta yang dipersoalkan para pemohon.
Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa frasa tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara jelas.
“Menyatakan frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU 28/2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’,” ucap Suhartoyo.
Mahkamah menilai, ketidakjelasan frasa tersebut membuka ruang penafsiran yang beragam sehingga berpotensi menimbulkan sengketa.
Oleh karena itu, penentuan royalti harus mengacu pada tarif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan oleh lembaga yang berwenang.
Enny menegaskan bahwa penetapan tarif royalti harus melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan, serta tidak mengabaikan kepentingan masyarakat untuk dapat mengakses dan menikmati karya cipta secara terjangkau.
Untuk penghimpunan royalti, LMK diwajibkan berkoordinasi dan menetapkan besaran royalti sesuai prinsip dan kelaziman hak cipta.
“Dalam hal ini, pembentuk undang-undang perlu segera mengatur perihal royalti atau imbalan yang terukur dan proporsional serta tidak memberatkan pengguna ciptaan dan masyarakat pada umumnya,” ucap Enny.
Mahkamah juga mencatat bahwa tarif royalti selama ini telah diatur melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016.
Adapun pengaturan “imbalan yang wajar” merupakan bagian dari mekanisme lisensi kolektif atau blanket license yang dikelola LMK.
Sanksi Pidana sebagai Upaya Terakhir
Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa sanksi pidana dalam pelanggaran hak cipta harus ditempatkan sebagai upaya terakhir atau ultimum remedium.
Penyelesaian sengketa seharusnya lebih dahulu ditempuh melalui mekanisme administratif atau perdata.
“Dalam konteks hak cipta, sanksi pidana hanya akan diterapkan setelah semua upaya penyelesaian mekanisme yang lain, seperti sanksi administratif atau perdata, dinilai tidak memadai atau tidak memberikan penyelesaian,” kata Enny.
Mahkamah menilai bahwa penggunaan sanksi pidana sebagai langkah awal berpotensi menimbulkan rasa takut bagi para pengguna ciptaan, khususnya seniman, musisi, dan pelaku pertunjukan, serta dapat berdampak pada ekosistem seni dan budaya nasional.
Menurut MK, kerugian akibat pelanggaran hak cipta pada dasarnya bersifat ekonomi sehingga lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme administratif dan perdata, termasuk pembayaran ganti rugi melalui LMK.
“Oleh karena itu, penyelesaian sengketa yang ditempuh seharusnya adalah dengan terlebih dahulu mengedepankan penyelesaian secara administratif dan/atau keperdataan sebelum menempuh penegakan sanksi hukum pidana,” ujarnya.
MK juga menegaskan bahwa penegakan sanksi pidana harus dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Prinsip tersebut dituangkan dalam penafsiran Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta, yang mengatur ancaman pidana bagi pelanggaran hak ekonomi pencipta.
Tanggapan APMI
Ketua Umum Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) Dino Hamid menyambut positif putusan MK tersebut.
Ia menilai keputusan tersebut memberikan kepastian hukum bagi para promotor musik.
“Saya rasa ini keputusan yang baik dan clear, kita sebagai user butuh kepastian akan hal ini,” kata Dino dikutip dari Republika, Minggu (20/12/2025).
Menurut Dino, kewajiban pembayaran royalti dalam bentuk performing rights merupakan praktik yang lazim secara internasional.
Dalam praktiknya, royalti umumnya dikenakan sebesar 2 persen dari total penjualan tiket konser.
Ia menekankan pentingnya sosialisasi yang masif dari pemerintah agar aturan ini dipahami dengan baik oleh seluruh pihak, baik promotor maupun penikmat musik.
“Aturan ini harus disosialisasikan bahwasanya selain pajak, ada aturan performing right yang harus dibayarkan. Agar user dan customer mendapatkan informasi yang jelas dan paham akan hal tersebut,” kata dia.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]