WahanaNews.co | Kepala Staf Presiden,
Moeldoko, membantah menerima aliran duit
dari PT Dirgantara Indonesia.
Dia mengatakan, saat pengadaan empat helicopter
Bell 412EP di tahun 2011 itu, dirinya masih menjabat
sebagai Panglima Kodam Siliwangi atau Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional yang
tidak mengurus persoalan pengadaan.
Baca Juga:
OTT di Mandailing Natal, KPK Tangkap 6 Orang Terkait Proyek Jalan PUPR
"Saya pikir enggak benar. Tahun pengadaannya itu pada 2011. Saat itu saya
masih menjadi Panglima Kodam Siliwangi atau Gubernur Lembaga Ketahanan
Nasional," kata Moeldoko, dikutip dari Majalah Tempo edisi
Sabtu (24/10/2020).
Di sisi lain,Moeldokojugamenyatakan hanya menjabat
sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) selama tiga bulan. Selama menjabat,
dia mengatakan, kepala staf lebih fokus pada pekerjaan pembinaan.
"Dari awal sebagai komandan dan panglima lebih ke pembinaan. Urusan
logistik, saya tidak paham," ujar dia.
Baca Juga:
Skandal Korupsi Program Digitalisasi, Eks Mendikbud Nadiem Dicegah ke Luar Negeri
Selain itu, Moeldokotidak ingat bahwa ada pemberian komisi dari
perusahaan mitra PT Dirgantara Indonesia dalam setiap proyek pengadaan di TNI AD
atau Angkatan Darat.
Sebelumnya, PT Dirgantara Indonesia diduga memberikan upeti atau uang ke
sejumlah pejabat di Kementerian Pertahanan, TNI, dan lembaga negara lainnya
sepanjang 2008-2016.
Seperti dikutip dari investigasi Majalah
Tempo edisi Sabtu (24/10/2020), total upeti mencapai Rp 178,98
miliar. Uang itu merupakan imbalan atas 79 kontrak dari pemberi kerja, lembaga
pemilik anggaran yang disebut sebagai "end user", yang sebagian di antaranya untuk
pengadaan pesawat dan helikopter.
Dalam salah satu berkas yang berjudul "Proyek helikopter Bell 412EP
Kemenhan-TNI AD APBNP 2011", tertulis nama mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, Marsekal
Madya Eris Herryanto. Di kolom uang tercatat Rp 250 juta.
Dalam dokumen berbeda, ada juga nama Jenderal Moeldoko, yang menjabat KSAD
selama tiga bulan pada periode 2013 dan kini menjabat Kepala Staf Kepresidenan.
Pada kolom uang, tertera angka Rp 1 miliar.
Di bawah Moeldoko, berderet nama perwira lain beserta jumlah duit dari
puluhan hingga ratusan juta rupiah. Angka total untuk "Markas Besar Angkatan
Darat" Rp 2,35 miliar.
Pelaksana Tugas
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri, mengatakan,
lembaran berkas tersebut sudah dikantongi lembaganya. KPK mendapatkannya dari
perusahaan rekanan PT Dirgantara Indonesia ketika mengusut korupsi di
perusahaan pelat merah bidang penerbangan ini.
"Uang dari PTDI yang
dikeluarkan untuk mitra dan digunakan lagi untuk berbagai kebutuhan tersebut
akan ditelusuri lebih lanjut oleh penyidik," kata Ali,
seperti dikutip dari Majalah Tempo
edisi 26 Oktober - 1 November 2020.
Ali enggan menyebutkan nama-nama
penerima aliran dana tersebut. Menurut dia, penyidik masih berfokus merampungkan
pengusutan korupsi pengadaan pesawat dan helikopter oleh PT Dirgantara
Indonesia. Sudah ada enam tersangka yang dijerat dengan kerugian negara
mencapai Rp 202,19 miliar dan US$ 8,6 juta atau totalmencapai Rp 303
miliar.
"Untuk siapa-siapanya, nanti
akan dibuka di persidangan oleh penuntut umum," ujar Ali.
Adapun Eris Herryanto membantah
menerima duit sebagaimana tertulis dalam catatan.
"Jangan memancing saya
mengomentari berita yang saya sendiri tidak akui. Sekjen bukan pejabat yang
menentukan, kenapa harus terima uang? Lebih baik ke Kemhan saja untuk dapat
data akurat," katanya.
Budiman juga mengatakan tidak
pernah menerima setoran dari PT Dirgantara Indonesia ataupun rekanannya.
"Tidak pernah sama sekali
karena memang kami tidak mau," ujar Budiman, yang belakangan menjadi KSAD
sebelum digantikan Moeldoko. [qnt]