WahanaNews.co | Kehidupan berdemokrasi yang terbangun di negeri ini tampaknya sudah sedemikian senjang.
Lima tahun terakhir, selisih skor demokrasi tertinggi yang dicapai DKI Jakarta dengan terendah di Papua Barat semakin berjarak.
Baca Juga:
Hakim Tinggi Ponianak Vonis Bebas WN China Pengeruk Emas 774 Kg, Jaksa Ajukan Kasasi
Dengan mengacu pada hasil Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), kondisi demokrasi di negeri ini tergolong “sedang”.
Skor indeks nasional tahun 2020 sebesar 73,66.
Sebenarnya, dibandingkan dengan tahun sebelumnya, telah terjadi penurunan skor capaian, kendati dalam kategori kualitas demokrasi masih dalam kategori yang tetap sedang.
Baca Juga:
Undang Stakeholder, Bawaslu Kota Bekasi Gelar Evaluasi Penyelenggaraan Pilkada 2024
Jika dicermati, informasi menarik dari IDI tidak hanya terkait penurunan skor indeks ini semata.
Namun, seberapa besar derajat perbedaan kualitas kehidupan berdemokrasi yang terbangun pada setiap provinsi tergolong mengejutkan.
Itulah mengapa, dalam kerangka tujuan pemerataan pembangunan wilayah, disparitas yang terbangun perlu dipersoalkan.
Hasil indeks menunjukkan, kondisi tertinggi kualitas demokrasi di negeri ini terjadi pada DKI Jakarta.
Gabungan dari tiga aspek, 11 variabel, dan 30 indikator yang dijadikan penilaian menunjukkan skor demokrasi di DKI Jakarta sebesar 89,21.
Dengan skor sebesar itu, DKI Jakarta dapat dikategorikan “baik” kondisi demokrasinya.
Kondisi DKI Jakarta relatif cukup jauh meninggalkan provinsi-provinsi lainnya.
Pesaing terdekat, hanya Kalimantan Timur, DI Yogyakarta, Gorontalo, dan Kalimantan Barat yang juga masuk kategori relatif “baik”.
Tingginya skor demokrasi DKI Jakarta terbangun konsisten pada setiap aspek penilaian.
Dalam aspek “kebebasan sipil”, kendati pun tidak berada pada posisi paling teratas, namun skor 93,27 yang dicapai sudah menempatkan provinsi ini pada posisi ke-6 tertinggi.
Pada aspek “hak-hak politik”, DKI Jakarta berjaya.
Dengan skor capaian 84,95, posisi puncak diraih.
Selanjutnya, dalam aspek “kelembagaan demokrasi”, dengan skor 90,86 menempatkan provinsi ini pada posisi ketiga.
Posisi teratas yang digapai DKI Jakarta bukan hanya terjadi pada tahun ini saja.
Setidaknya, sudah keempat kali berturut-turut posisi puncak dipertahankan.
Namun sebelum itu, pada tahun 2016 lalu, kondisi DKI Jakarta terpuruk.
Masuk dalam barisan tengah yang tidak jauh berbeda skornya dengan rata-rata nasional.
Kasus-kasus pertentangan masyarakat jelang Pilkada 2017 lalu, ditengarai menjadi dasar pembenaran terhadap keterpurukan provinsi ini.
Perkembangan kualitas demokrasi DKI Jakarta akan semakin kontras jika diperbandingkan dengan kondisi provinsi-provinsi lainnya.
Paling mencolok, jika diperbandingkan dengan capaian Papua Barat, provinsi dengan skor indeks terendah.
Perbedaan yang mencolok di antara keduanya menggambarkan betapa masih senjangnya kondisi demokrasi di negara ini.
Skor demokrasi Papua Barat saat ini sebesar 61,76.
Sebenarnya jika ditelusuri dari kondisi “kebebasan sipil” di provinsi ini tidak terlalu senjang.
Dengan skor kebebasan sipil sebesar 86,33, Papua Barat berada di posisi ke-17 dari 34 provinsi di negeri ini.
Skor kebebasan sipil Papua Barat berada di atas rata-rata nasional (skor rata-rata kebebasan sipil nasional 79,40).
Kebebasan sipil yang relatif besar ini tampak paralel dengan capaian setiap indikator kebebasan sipilnya.
Pada provinsi ini berbagai indikator kebebasan seperti menjalankan ibadah keagamaan, kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat, dan berbagai aturan yang diskriminatif terhadap kelompok etnis, agama, ataupun gender tidak menjadi persoalan besar.
Kondisi di Papua Barat dalam indeks kebebasan sipil ini lebih baik dari kondisi yang tergambarkan di Provinsi Sumatera Barat yang saat ini menduduki posisi terbawah.
Akan tetapi, jika dikaji dari aspek demokrasi lainnya, seperti “hak-hak politik” maupun “kelembagaan politik”, Papua Barat jauh tertinggal.
Sebagai gambaran, aspek “hak-hak politik” di provinsi ini memiliki skor 47,78.
Selisih yang terbangun dengan rata-rata kondisi aspek hak-hak politik secara nasional terpaut hingga sekitar 20 poin.
Terlebih jika dibandingkan dengan kondisi di DKI Jakarta yang mencapai perbedaan 37 poin.
Tidak berbeda jauh dengan aspek “lembaga demokrasi”.
Dengan skor yang dicapai hanya sebesar 53,09 mendudukkan Papua Barat dalam kualitas kelembagaan demokrasi yang “rendah”.
Menjadi semakin ironis jika dicermati perkembangan Papua Barat dalam acuan perkembangan kurun waktu lima tahun terakhir.
Nyaris dapat disimpulkan jika pada provinsi ini terdapat kemajuan demokrasi yang tidak signifikan.
Bagaimana tidak, posisi yang dicapai pada tahun ini cenderung tidak banyak perbedaannya dengan capaian kondisi tahun-tahun sebelumnya.
Cenderung berjalan di tempat.
Dengan kondisi yang sejauh ini dicapai Papua Barat, menjadi pertanyaan cukup krusial, apakah provinsi ini mampu mengejar ketertinggalannya?
Berharap perubahan dengan capaian selama ini memang teramat berat bagi Papua Barat mengejar ketertinggalan.
Menggunakan perhitungan sederhana, agar mengejar ketertinggalan hingga sampai posisi skor rata-rata nasional saja, diperlukan waktu yang relatif lama.
Dengan laju pertumbuhan saat ini, Papua Barat perlu hingga 42 tahun untuk sama dengan rata-rata nasional saat ini.
Terlebih jika dibandingkan dengan DKI Jakarta, dibutuhkan hingga sekitar satu abad mengejarnya.
Posisi terendah dalam kualitas demokrasi semacam ini semakin mengkhawatirkan jika dikaitkan dengan cita-cita kesejahteraan yang dikejar.
Dengan menempatkan kualitas demokrasi menjadi salah satu syarat bagi terciptanya kesejahteraan, maka kondisi yang terbangun selama ini cukup menyulitkan bagi Papua Barat mengejar ketertinggalan kesejahteraan.
Dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai dasar penentuan kondisi kualitas kesejahteraan manusia di suatu provinsi, misalnya, maka sinyal betapa problematikanya kesejahteraan di Papua Barat seolah mendapatkan pembenaran.
Apa yang terjadi, kondisi kesejateraan di Papua Barat tampak berelasi positif dengan kualitas demokrasi yang terbangun.
Tampak nyata jika Papua Barat masuk dalam kelompok wilayah dengan capaian demokrasi dan kesejahteraan yang juga rendah.
Selain Papua Barat, terdapat juga Papua, dan juga Sulawesi Barat.
Kondisi sebaliknya, Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Kalimantan Timur menjadi wilayah dengan kualitas demokrasi dan kesejahteraan yang tinggi.
Paralel dengan kondisi demokrasinya, jarak senjang yang terbangun antara kualitas kesejahteraan pada provinsi tertinggi dengan wilayah kualitas kesejahteraan rendah tampak nyata.
Dapat disimpulkan, dengan kondisi yang terbangun selama ini, selisih jarak waktu yang tercipta tampak teramat jauh untuk mengejarnya.
Tampaknya mustahil terpangkas sepanjang tidak terjadi suatu perubahan yang radikal di provinsi tersebut. [dhn]
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul “Mungkinkah Papua Barat Mengejar DKI Jakarta?”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/riset/2021/09/11/mungkinkah-papua-barat-mengejar-dki-jakarta/.