WahanaNews.co | Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti,
mengingatkan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tak bisa langsung memberhentikan kepala
daerah yang melanggar ketentuan Pasal 78 Undang-Undang (UU) tentang
Pemerintahan Daerah.
Pemberhentian diusulkan kepada Presiden/Mendagri
harus berdasarkan putusan final Mahkamah Agung.
Baca Juga:
Kembalinya Empat Pulau Aceh, Bukti Terseoknya Birokrasi
"Pencopotan
kepala daerah, baik Gubernur, Bupati, Wali Kota, itu
tidak seperti dulu, yang
bisa dicopot saja langsung oleh Mendagri," ujar Bivitri, saat dihubungi wartawan, Kamis (19/11/2020).
Ia
menjelaskan, kepala daerah saat ini dipilih langsung oleh rakyat, sehingga
proses pencopotannya pun harus melalui wakil rakyat sesuai ketentuan Pasal 80
UU Pemerintahan Daerah.
Dengan
demikian, menurut dia, pengenaan sanksi pemberhentian kepala daerah sangat
bergantung pada konstelasi politik antara eksekutif dan legislatif di daerah.
Baca Juga:
Hadapi Musim Kemarau Basah, Tito Minta Stok Pangan Tetap Aman
"Misalnya
DKI Jakarta, berarti harus ada hitungan politiknya, apakah DPRD-nya akan
menyetujui atau tidak kalau ada sanksi terhadap Anies Baswedan," kata
Bivitri.
Pemberhentian
kepala daerah pun tak cukup hanya dengan pendapat politik yang diputuskan
melalui rapat paripurna DPRD.
Putusan
DPRD kemudian harus melalui proses hukum di Mahkamah Agung yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini.
Apabila
Mahkamah Agung memutuskan kepala daerah yang bersangkutan terbukti melanggar,
barulah pimpinan DPRD menyampaikan usulan pemberhentian kepada Mendagri untuk Bupati/Wali Kota atau Presiden
untuk Gubernur. Putusan Mahkamah Agung yang menjadi dasar
pencopotan kepala daerah.
Menurut
Bivitri, Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol
Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 hanya bersifat mengingatkan
kepala daerah atas adanya sanksi pemberhentian.
Jika
kepala daerah dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penanganan pandemi, maka proses pemberian sanksinya mengikuti aturan UU
Pemerintahan Daerah.
"Yang
kemudian mengikat Undang-Undang Pemerintahan Daerahnya, karena memang kalau
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang mengikat itu undang-undang,
instruksi itu administrasi negara dari Menteri ke bawahannya," tutur Bivitri.
Instruksi
Mendagri mengingatkan kepala daerah adanya ketentuan kewajiban dan sanksi dalam
Pasal 78 UU Pemerintahan Daerah.
Pasal
ini berisi ketentuan, kepala daerah bisa diberhentikan karena dinyatakan
melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban menaati seluruh
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Instruksi
Mendagri meminta kepala daerah mematuhi peraturan perundang-undangan dan aturan
turunannya yang berkaitan dengan pengendalian penyebaran Covid-19.
Kepala
daerah diminta menegakkan secara konsisten protokol kesehatan guna mencegah
penyebaran Covid-19, termasuk dengan pembubaran kerumunan massa yang berpotensi
melanggar protokol kesehatan.
Bivitri
menambahkan, berdasarkan kasus terdahulu, dengan alasan apapun, kepala daerah
dapat diberhentikan dengan pengenaa Pasal 78, termasuk apabila mereka dianggap
melanggar protokol kesehatan yang sudah diatur sejumlah peraturan
perundang-undangan.
Akan
tetapi, bergantung pada keputusan DPRD untuk membawa perkara tersebut ke
Mahkamah Agung atau tidak.
"Memang
bisa saja untuk alasan apapun tergantung dari keputusan DPRD-nya dulu. Harus
ada analisis politiknya dulu," ucap Bivitri.
Selain
itu, dalam Pasal 81 UU Pemerintahan Daerah, apabila DPRD tidak melakukan hal di
atas, pemerintah pusat dapat memberhentikan kepala daerah.
Pemerintah
pusat terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah untuk
menemukan bukti-bukti atas pelanggaran yang dilakukan.
Hasil
pemeriksaan lalu disampaikan kepada Mahkamah Agung. Apabila Mahkamah Agung
memutuskan kepala daerah terbukti melakukan pelanggaran, pemerintah pusat memberhentikan
kepala daerah. [dhn]