Sementara alasan ketiga, negara tidak ingin menjadikan TNI menjadi tentara niaga.
"Tentara yang tadinya cuma fokus untuk menjadi alat pertahanan negara kemudian juga memikirkan bisnis. Negara tidak menginginkan itu. Karena itulah kemudian klausa pelarangan bisnis menjadi penting," ujarnya.
Baca Juga:
Penyebutan KKB Jadi OPM Disebut Pengamat Langkah Maju dari Pemerintah
Di sisi lain, ia mengatakan kontrol terhadap izin untuk membolehkan TNI berbisnis juga berat. Sebab, akan sulit kapan membedakan kapan urusan pribadi, kapan urusan institusi.
"Karena kemudian kalau yang berbisnisnya adalah pimpinan maka pimpinan bisa saja kemudian menyalahgunakan kewenangan dan mencampuradukan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan institusi dan ini tentunya yang kita khawatirkan," katanya.
Menurutnya, jika alasannya untuk pemenuhan kebutuhan anggaran pertahanan dan kesejahteraan, seharusnya masalah itu diserahkan kepada negara.
Baca Juga:
Peminat Program Hapus Tato Gratis Meningkat di Jakarta Pusat
"Saya pikir dengan kita punya presiden yang mempunyai pengalaman dengan dunia kemiliteran, saya pikir sudah cukup paham bagaimana kemudian negara memikirkan alternatif pendanaan," katanya.
Lebih lanjut, kata Anton, pendanaan alternatif juga bukan berarti mencari sumber lain, tetapi memaksimalkan anggaran yang dimiliki, lalu memperbaiki tata kelola.
"Saya pikir terobosan untuk menyiasati keterbatasan anggaran pertahanan tidak perlu kemudian membuka ruang dibolehkannya lagi bisnis militer. Kenapa? Karena pengalaman sudah menunjukkan bisnis militer tidak selamanya itu ditujukan untuk kesejahteraan prajurit TNI," ujarnya.